Quantcast
Channel: Satrio Arismunandar - Bangkitlah Indonesia!
Viewing all 472 articles
Browse latest View live

Australia Memilih Kapal Selam Masa Depan

0
0
Oleh: Satrio Arismunandar

Sebagai negara benua yang dikelilingi lautan, pengadaan kapal selam untuk pertahanan termasuk soal krusial bagi Australia, negeri tetangga Indonesia. Di sisi lain, bagi Indonesia sendiri, sebagai tetangga besar di utara, program kapal selam Australia juga menjadi perhatian karena akan berpengaruh pada strategi pertahanan Indonesia. Beroperasinya kapal-kapal selam Australia di perairan Indonesia, khususnya pada saat situasi krisis di Timor Timur di zaman pemerintahan Presiden Soeharto, sudah dipahami oleh militer Indonesia.

Australia memiliki persepsi ancaman bahwa “musuh akan datang dari utara.” Maka, jika Indonesia tidak menjadi musuh yang mengancam Australia, sangat mungkin “musuh lain” yang dimaksud itu –misalnya, China-- akan mengancam Australia sesudah melewati wilayah perairan Indonesia. Kembali di sini terlihat arti penting kapal selam bagi Australia, dan juga bagi Indonesia.

Australia sudah sekian lama merencanakan pembaruan armada kapal selamnya yang sudah mulai tua dengan kapal selam generasi baru. Namun berbagai komplikasi, terkait kepentingan politik pemerintah di era Perdana Menteri Tony Abbott, membuat rencana akuisisi itu tertunda-tunda.

Enam kapal selam kelas-Collins milik Royal Australian Navy (RAN) dijadwalkan secara bertahap mulai berhenti bertugas pada 2025 dan seterusnya. Rencana untuk menggantinya telah dimulai pada 2007 dengan proyek akuisisi pertahanan SEA 1000, yang disebut juga Program Kapal Selam Masa Depan (Future Submarine Programme).

Mengingat beban keuangan yang mahal untuk terus mempertahankan beroperasinya kapal selam kelas-Collins, keputusan cepat untuk menggantinya sangat dibutuhkan. Kecuali ada pilihan lain, seperti sementara menyewa kapal selam yang sudah ada dari negara sekutu, misalnya dari Amerika Serikat.

Persyaratan yang Ketat

Pada 2009, Buku Putih Pertahanan Pemerintah Australia --yang berjudul Defending Australia in the Asia Pacific Century: Force 2030-- menyatakan, sekelas yang terdiri dari 12 kapal selam baru akan dibuat. Desain yang terpilih akan dibangun di Australia, persisnya di galangan ASC. ASC adalah galangan milik pemerintah di Osborne, Australia Selatan, yang sebelumnya telah membuat kapal-kapal selam kelas-Collins. Jika perusahaan lain yang bukan ASC dipilih untuk membuat kapal selam itu, mereka akan diberi akses ke fasilitas milik pemerintah di ASC.

Kerja konsep direncanakan mulai pada 2009, desain pemenang dinyatakan pada 2013, dan kerja desain dituntaskan pada 2016, yang memungkinkan konstruksi kapal selam pertama diselesaikan sebelum 2025. Namun, ternyata ada penundaan implementasi proyek. Rapat-rapat untuk merumuskan kapabilitas kapal selam yang diinginkan baru dimulai pada 2012, yang menyebabkan awal konstruksi akan tertunda melampaui 2017. Sampai akhir 2014, kapabilitas operasional tetap belum dirumuskan.

Persyaratan bagi kapal selam baru itu sendiri memang lumayan ketat. Hal ini karena lingkungan operasi Australia yang unik, termasuk variasi signifikan dalam hal iklim dan kondisi lautan. Penolakan publik terhadap penggunaan propulsi nuklir, sebelumnya telah mendorong dioperasikannya kapal selam kelas-Collins. Ini adalah kapal selam diesel-listrik terbesar di dunia, yang mampu menempuh jarak panjang dari pangkalannya di HMAS Stirling di Australia Barat ke kawasan operasinya.

Kapal-kapal selam bertenaga diesel-listrik Australia beroperasi di kondisi laut dan geografis yang sangat bervariasi, dari Lautan Selatan yang dingin sampai ke Laut Timor, Arafura, dan Coral yang beriklim tropis. Oleh karena itu, dibutuhkan kapal selam yang mampu menghadapi variasi suhu, salinitas (kadar garam), densitas, dan iklim. Kapal selam Australia diharapkan memberi efek gentar terhadap kemungkinan agresi militer ke Australia, dengan kemampuan berpatroli di perairan Australia dan negeri-negeri yang berdekatan.

Sebagai tambahan, kapal selam ini juga mengumpulkan data intelijen lewat penyadapan komunikasi elektronik dari negara asing, dan membantu pengerahan dan penarikan kembali operasi pasukan khusus. Kapal-kapal selam RAN beroperasi dari lokasi terpencil di HMAS Stirling, Australia Barat, padahal kepentingan-kepentingan strategis Australia juga berlokasi jauh, sampai ke Teluk Persia dan Pasifik Utara.

Mampu Menempuh Jarak Jauh

Maka kapal selam Australia harus sanggup menempuh jarak jauh untuk mencapai beberapa kawasan patroli potensial. Persyaratan untuk jarak dan ketahanan (endurance) ini mengakibatkan desain kapal selam kelas-Collins pada 1980-an memadukan tangki bahan bakar besar, mesin besar, dan baterai yang memadai untuk menempuh jarak jauh tersebut.

Pengembangan teknologi terkini telah memungkinkan kapal selam diesel-listrik yang berukuran lebih kecil, seperti kapal selam Tipe 214 Jerman dan kelas-Walrus Belanda, untuk mencapai jarak dan ketahanan yang setara dengan kelas-Collins. Juga telah diketahui bahwa jarak transit yang harus ditempuh kapal selam Australia sebetulnya dapat dikurangi, dengan pengoperasian kapal selam dari HMAS Coonawarra di Darwin, ketimbang dari lokasi yang jauh lebih terpencil di HMAS Stirling di Australia Barat.

Kelas-Collins adalah kapal selam diesel-listrik pertama yang secara spesifik didesain untuk kondisi Australia, dengan jarak transit yang panjang dan keadaan laut yang beragam. Dengan demikian, desain kelas-Collins tidak memiliki rancangan pengembangan bertahap untuk nantinya menggantikan kapal-kapal selam itu.

Kapal selam itu diperbesar ukurannya dan merupakan versi modifikasi berat terhadap kapal selam kelas Västergötland buatan galangan Kockum, Swedia. Dibangun selama 1990-an dan 2000-an, kapal selam kelas-Collins memiliki usia operasional yang diprediksi mencapai 30 tahun. Sedangkan kapal pertama HMAS Collins dijadwalkan mulai dibebas-tugaskan sekitar 2025.

Kriteria penting lain dalam memilih kapal selam untuk kebutuhan Australia masa depan adalah jenis mesin penggerak (sistem propulsi) kapal selam itu. Keputusan tentang sistem propulsi kapal selam masa depan sangat erat terkait dengan penentuan jarak tempuh operasional, ketahanan, dan sifat ketidakmudahan dilacak (stealthiness). Ada dua opsi dasar untuk propulsi kapal selam: propulsi nuklir dan propulsi diesel-listrik yang konvensional.

Menolak Sistem Propulsi Nuklir

Opsi propulsi nuklir secara efektif memberi jarak tempuh dan ketahanan yang tak terbatas pada kapal selam. Ia hanya dibatasi oleh perawatan dan persyaratan awak manusia, yang butuh perbekalan ulang dan istirahat. Propulsi nuklir menghapus kebutuhan kapal selam untuk muncul ke permukaan guna mengisi ulang baterai, sebuah proses yang berisiko dan bisa dilacak musuh.

Namun pemerintah Australia telah berulang kali menolak opsi propulsi nuklir mengingat kurangnya industri tenaga nuklir di Australia. Jika dipaksakan, Australia akan menjadi satu-satunya negara non-nuklir yang mengoperasikan kapal selam nuklir. Pertimbangan lain berhubungan dengan isu kedaulatan operasional. Jika Australia akan mengoperasikan kapal selam bertenaga nuklir Amerika, seperti kelas-Virginia, ia akan tergantung pada dukungan teknis Amerika, ditambah ada penentangan masyarakat terhadap teknologi nuklir.

Alternatif kedua adalah mengoperasikan kapal selam diesel-listrik yang konvensional, dengan bahan bakar dan daya baterai yang memadai untuk menempuh jarak operasional yang jauh, yang dipersyaratkan Australia. Serta, memberikan jarak tempuh, ketahanan, dan sifat ketidakmudahan dilacak (karena beroperasi di bawah air) yang maksimum, sebelum harus naik ke permukaan untuk mengambil udara dan mengisi ulang baterai.

Inovasi lebih jauh pada propulsi diesel-listrik yang mungkin dipertimbangkan untuk pengganti kelas-Collins adalah teknologi air independent propulsion (AIP). AIP ini tidak dioperasikan pada kelas-Collins yang ada sekarang, namun telah dioperasikan di sejumlah desain kapal selam yang lebih baru, seperti Tipe 214 Jerman, kelas-Soryu Jepang, dan kelas-Scorpene Perancis.

AIP menjalankan peran sebuah mesin penunjang yang memberi peningkatan ketidakmudahan dilacak pada kapal selam, karena memungkinkan kapal selam ini menyelam lebih lama. Kapal selam Tipe 214 Jerman telah menggunakan sel-sel bahan bakar (fuel cells) membran elektrolit polimer yang canggih. Sel-sel bahan bakar ini membantu memberikan jarak tempuh dan ketahanan yang layak ditandingkan dengan kelas-Collins.

Baterai adalah komponen penting kapal selam diesel-listrik, yang memungkinkan kapal selam beroperasi di bawah air untuk periode waktu yang lama, sebelum harus muncul kembali ke permukaan untuk mengisi ulang baterai. Pengembangan teknologi baterai pada tahun-tahun terakhir ini telah memungkinkan kapal selam diesel-listrik yang lebih kecil, untuk beroperasi dengan jarak tempuh dan ketahanan yang sangat dikembangkan.

Desain kapal selam masa depan mungkin memanfaatkan pengembangan teknologi baterai Lithium-ion. Pengganti kelas-Collins mungkin mengoperasikan teknologi baterai yang lebih unggul dari yang kini sudah digunakan di kelas-Collins.

Proyek yang Termahal

Buku Putih Pertahanan 2014 mengidentifikasi kapabilitas rudal jelajah untuk serangan darat, sebagai tambahan penting terhadap torpedo, ranjau, dan rudal-rudal anti-kapal yang sudah ada. Pada Februari 2015, Pemerintah Australia mengidentifikasi preferensinya bagi kapal selam masa depan, agar memiliki sistem persenjataan dan torpedo berbobot berat Amerika.

Ketika pertama diumumkan, proyek penggantian Collins dipandang sebagai proyek termahal yang pernah diadopsi oleh Angkatan Bersenjata Australia. Pada Desember 2010, sebuah perkiraan baru terhadap Rencana Kapabilitas Pertahanan menyebut biaya proyek mencapai A$ 10 miliar. Sedangkan Institut Kebijakan Strategis Australia memperkirakan, kapal-kapal selam baru itu akan memakan biaya sampai A$ 36 miliar untuk desain dan pembuatan, di mana konstruksi setiap kapal selam bernilai antara A$ 1,4 sampai A$ 3,04 miliar.

Prediksi pemerintah pada 2014 menyebut, biaya total mencapai A$ 80 miliar untuk 12 kapal selam turunan Collins yang dibangun oleh ASC, walaupun ASC sendiri hanya mengklaim bahwa biayanya adalah A$ 18-24 miliar. Memang rencana awalnya adalah membuat kapal selam baru di ASC, bahkan sekalipun ASC tidak menjadi pemenang tender.

Sejumlah yang tak disebutkan dari kapal selam kelas-Soryu, yang dibuat di Jepang oleh Mitsubishi Heavy Industries dan Kawasaki Shipbuilding Corporation, diperkirakan bernilai A$ 25 miliar. Tawaran dari pabrik Eropa pada 2014 dinilai oleh kalangan galangan kapal sebagai bernilai A$ 20 miliar atau setidaknya bersaing dengan biaya yang ditawarkan Jepang.

Buku Putih Pertahanan menyatakan, alasan peningkatan jumlah kapal selam dari enam kapal selam kelas-Collins yang akan dipensiunkan menjadi 12 kapal selam baru, antara lain karena meningkatnya kuantitas dan kecanggihan kekuatan laut Asia-Pasifik, khususnya kekuatan kapal selam. Selain itu, ada kebutuhan untuk melanjutkan operasi-operasi kapal selam di daerah konflik manapun, dan peningkatan daya gentar, yang akan diwujudkan jika ada penambahan kekuatan kapal selam.

Memilih Desain Perancis

Pemerintah Australia pada April 2016 akhirnya memutuskan untuk memilih desain kapal selam buatan pabrikan Perancis, DCNS, untuk program pengadaan 12 kapal selam masa depannya, dengan nilai total A$ 50 miliar. Keputusan ini ditegaskan sesudah pada Februari 2015 pemerintah mengumumkan “proses evaluasi kompetitif” antara desain kapal selam Jepang, Perancis, dan Jerman, tiga pesaing utama. Awalnya, banyak yang curiga bahwa “proses evaluasi kompetitif” (yang tidak sama dengan tender) adalah akal-akalan pemerintah Abbott untuk menggolkan kesepakatan membeli kapal selam Jepang kelas Soryu.

Abbott waktu itu ingin membeli kapal selam kelas-Soryu, sebagian karena ingin memberi sinyal pada China bahwa ia ingin meningkatkan status militer Jepang. Namun, satu-satunya kriteria seharusnya adalah kapal selam apa yang terbaik bagi Australia. Kementerian Pertahanan mempertimbangkan, jarak tempuh 12.000 km bagi kapal selam Jepang kelas Soryu yang berbobot 4.200 ton bukanlah suatu keunggulan. Sebuah desain baru mungkin bisa meningkatkan daya jangkau Soryu ini.

Sebagai perbandingan, Singapura kini tengah membeli kapal selam Tipe 214 Jerman yang ditingkatkan kemampuannya, di mana daya jangkau resminya adalah 19.000 km. Tidak seperti Soryu, Tipe 214 ini dilengkapi dengan rudal-rudal untuk menyerang helikopter, pesawat, dan kapal anti-kapal selam dari bawah permukaan air. Meskipun sering berhasil “menenggelamkan” kapal perang AS dalam berbagai latihan, Kemhan Australia menganggap, Tipe 214 yang berbobot 2.000 ton terlalu kecil.

Sementara itu Perancis menawarkan versi konvensional dari kapal selam nuklir Barracuda, yang belum operasional. Tawaran Jerman, berupa kapal selam Tipe 216 berbobot 4.000 ton dengan pengunci udara untuk meluncurkan drone dari bawah laut atau 22 prajurit pasukan khusus, juga belum operasional. Kapal selam ini hanya membutuhkan 34 awak, jauh lebih sedikit ketimbang Soryu yang membutuhkan 56 awak. Tipe 216 berbeda dari Tipe 214, dan adalah versi yang dirancang Jerman untuk memenuhi persyaratan Australia.

Walau kapal selam Tipe 214 Jerman memiliki jarak tempuh dan ketahanan yang setara dengan kelas-Collins, serta jarak tempuh dan ketahanan yang lebih unggul dari kelas Soryu, selama 2014 terdapat spekulasi bahwa desain Jepang telah dipilih sebelumnya oleh pemerintah Abbott sebagai pengganti kelas-Collins. Hal ini mendorong munculnya kritik publik bahwa kapal selam Jepang tidak memiliki daya tempuh atau ketahanan yang dipersyaratkan Australia.

Adanya kesepakatan pertukaran teknologi senjata pada September 2012 dan perjanjian Juli 2014 tentang berbagi teknologi pertahanan dipandang sebagai langkah-langkah pendahuluan ke arah kolaborasi Jepang-Australia tentang desain kapal selam. Atau, juga bisa dipandang sebagai pengintegrasian teknologi AIP rancangan Kockum di kapal selam Soryu, serta mesin-mesin dan riset Stirling, ke dalam kapabilitas hidrodinamik kapal selam Jepang, yang akan bermanfaat untuk memenuhi desain SEA 1000 yang potensial.

Meski demikian, patut dicatat bahwa kerjasama dalam proyek pertahanan yang besar akan berisiko tinggi, mengingat kurangnya pengalaman ekspor senjata Jepang sebelumnya. Selain itu, setiap kesepakatan Jepang-Australia dapat berdampak negatif terhadap hubungan kedua negara dengan China. Oleh karena itu, pilihan akhir Australia untuk meninggalkan desain Jepang dan memilih menggunakan desain kapal selam buatan Perancis, mengisyaratkan pemerintah sudah lebih mengedepankan pertimbangan obyektif-teknis, ketimbang politis-keamanan. ***

Jakarta, November 2016
Ditulis untuk Majalah DEFENDER

Bakamla RI: Mengamankan Poros Maritim Dunia

0
0
Oleh: Satrio Arismunandar

Program besar pemerintah Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk mewujudkan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia bukanlah sekadar wacana. Pencanangan Poros Maritim Dunia itu menuntut komitmen besar dari segi anggaran, sumber daya manusia, dan kelembagaan –khususnya yang terkait dengan kelautan-- untuk mendukung program besar itu.

Dalam konteks itulah, kehadiran Badan Keamanan Laut Republik Indonesia (Bakamla RI) sangat penting dan vital. Bakamla adalah badan yang bertugas melakukan patroli keamanan dan keselamatan di wilayah perairan Indonesia dan wilayah yurisdiksi Indonesia. Bakamla adalah Coast Guard-nya Indonesia.

Bakamla merupakan lembaga pemerintah nonkementerian yang bertanggung jawab kepada Presiden melalui Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan. Sebelumnya, Bakamla adalah lembaga nonstruktural yang bernama Badan Koordinasi Keamanan Laut Republik Indonesia (Bakorkamla RI).

Bakorkamla awalnya dibentuk pada 1972 melalui Keputusan Bersama Menteri Pertahanan dan Keamanan/Panglima Angkatan Bersenjata, Menteri Perhubungan, Menteri Keuangan, Menteri Kehakiman, dan Jaksa Agung, tentang Pembentukan Bakorkamla dan Komando Pelaksana Operasi Bersama Keamanan di Laut.

Tujuan Presiden saat itu, bagaimana proses ilegal di laut diproses hukum secara tuntas. Di situ ada TNI Angkatan Laut, Kejaksaan, dan Imigrasi. Juga ada Polisi, Direktorat Kesatuan Penjagaan Laut dan Pantai (KPLP) Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Ditjen Bea Cukai, dan Ditjen Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan, untuk bagaimana mengoordinasikan semua pemangku kepentingan terkait.

Adanya perubahan tata pemerintahan dan perkembangan lingkungan strategis, membuat Bakorkamla perlu diatur kembali, dalam rangka meningkatkan koordinasi antar berbagai instansi pemerintah di bidang keamanan laut. Maka, pada 2003 melalui Keputusan Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan, dibentuklah Kelompok Kerja Perencanaan Pembangunan Keamanan dan Penegakan Hukum di Laut.

Tak Cuma Bersifat Koordinasi

Sesudah melalui serangkaian seminar dan rapat koordinasi lintas sektoral, pada 29 Desember 2005, ditetapkanlah Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2005, yang menjadi dasar hukum dari Badan Koordinasi Keamanan Laut. Lalu, sejak disahkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan, Bakorkamla resmi berganti nama menjadi Badan Keamanan Laut (Bakamla). Kedudukan Bakamla lalu diperkuat lagi dengan diterbitkannya Peraturan Presiden Nomor 178 Tahun 2014 tentang Badan Keamanan Laut.

Presiden Jokowi, sesuai UU No. 32 Tahun 2014, ingin lembaga ini tak hanya bersifat koordinasi, tapi juga bersifat gabungan dalam arti tiga hal. Pertama, patroli gabungan. Kedua, penggunaan sistem peringatan dini supaya patroli lebih efisien. Sehingga, baru bergerak ke laut kalau ada peristiwa yang dideteksi radar atau satelit. Ketiga, proses hukum yang tuntas, tidak hanya pemberkasan di lapangan, tapi juga sampai ke pengadilan. Sehingga, pengguna laut mendapat kepastian hukum.

Perubahan Bakorkamla pada 2005 menjadi Bakamla pada 2014 tidak menambah unsur organisasi, tetapi hanya mengubah eselon II pada tingkat kepala pusat menjadi deputi, atau naik pangkat menjadi bintang dua. Sehingga, komunikasi Deputi Bakamla dengan instansi lain di dalam negeri menjadi setara. Misalnya, dengan Asisten Operasi TNI dan Polri, Dirjen Hubla, dan KKP, menjadi setara.

Bakamla bertugas melakukan patroli keamanan dan keselamatan di wilayah perairan Indonesia dan wilayah yurisdiksi Indonesia. Dalam melaksanakan tugas itu, Bakamla menyelenggarakan fungsi: menyusun kebijakan nasional di bidang keamanan dan keselamatan; menyelenggarakan sistem peringatan dini keamanan dan keselamatan; serta melaksanakan penjagaan, pengawasan, pencegahan, dan penindakan pelanggaran hukum, semua itu di wilayah perairan Indonesia dan wilayah yurisdiksi Indonesia.

Bakamla juga menyinergikan dan memonitor pelaksanaan patroli perairan oleh instansi terkait; dan memberikan dukungan teknis dan operasional kepada instansi terkait. Juga, memberikan bantuan pencarian dan pertolongan di wilayah perairan Indonesia dan wilayah yurisdiksi Indonesia; dan melaksanakan tugas lain dalam sistem pertahanan nasional.

Dalam melaksanakan tugas dan fungsi, Badan Keamanan Laut berwenang melakukan pengejaran seketika; memberhentikan, memeriksa, menangkap, membawa, dan menyerahkan kapal ke instansi terkait yang berwenang, untuk pelaksanaan proses hukum lebih lanjut. Bakamla juga mengintegrasikan sistem informasi keamanan dan keselamatan di wilayah perairan Indonesia dan wilayah yurisdiksi Indonesia.

Mengatasi Kejahatan di Laut

Ada beda tugas antara Bakamla dan TNI AL dalam penegakan hukum di laut. RUU Keamanan Laut yang diusulkan dan dilaporkan ke Presiden bertujuan untuk lebih menata peran dari masing-masing lembaga, yang memiliki fungsi keamanan di laut. Bakamla dan instansi sipil yang terdapat di dalamnya diarahkan untuk melaksanakan fungsi maritime civil law enforcement. Sejak awal, fungsi itu tak boleh digabung dengan maritime defense law.

Kalau terkait kedaulatan, jelas TNI AL yang akan diminta menggelar operasi di sana. Tetapi kedaulatan jangan cuma dilihat dari garis batas wilayah kedaulatan, tetapi potensi mengganggu keamanan di perairan itu juga harus diperhatikan. Kalau dilihat dari pengaturan secara global, angkatan laut juga memiliki tugas konstabulari, melakukan pengamanan di laut dalam. Jadi, TNI AL juga wajib terlibat dalam pengamanan. Cuma, pengerahan angkatan laut akan memakai kapal perang, yang berbeda dengan kapal sipil.

Menurut Sekretaris Utama Bakamla RI, Laksamana Pertama (Maritim) Dicky Munaf, dalam wawancara dengan Republika (27/1), kejahatan di laut yang ditangani Bakamla sangat banyak jenisnya. “Bukan hanya illegal fishing dan perompakan. Ada BBM ilegal, illegal logging, pembuangan limbah nuklir, atau kejahatan narkotika. Itu semuanya kita cermati,” ujar Dicky.

Ditambahkannya, kejadian illegal fishing mempunyai potensi kerugian negara yang banyak. Perompakan juga banyak. Kalau bicara perompakan, itu tak hanya bicara tentang Indonesia, tapi juga bagaimana kartelnya dengan negara lain. “Karena itu menyangkut antarnegara, tentu aparat sipil dan militer terlibat di dalamnya. Ini menyangkut masalah kedaulatan dan batas negara,” tegas Dicky.

Kasus BBM ilegal itu memang jumlahnya sedikit, tetapi nilai rupiahnya tinggi. Misalnya, potensi kerugian negara untuk kapal ikan Rp 1 miliar per kapal. Kalau ada 100 kapal ikan, berarti Rp 100 miliar. Tetapi, BBM ilegal itu satu kapal nilainya bisa mencapai Rp 200 miliar. Nilai dari aktivitas ilegal yang dilakukan itu berbeda, antara kapal ikan dan kapal penyelundup BBM.

Bakamla RI saat ini dikepalai oleh Laksamana Madya TNI Ari Soedewo, S.E., M.H., yang menjabat sejak 16 Maret 2016, menggantikan Laksamana Madya Desi Albert Mamahit. Dalam melaksanakan tugasnya, Kepala Bakamla didukung oleh Sekretariat Utama, Deputi Bidang Kebijakan dan Strategi, Deputi Bidang Operasi dan Latihan, dan Deputi Bidang Informasi, Hukum, dan Kerja Sama.

Ari Soedewo pada 22 September 2016 menyatakan, Bakamla RI secara kontinyu melakukan operasi di laut maupun di udara. Untuk operasi laut yang dijalankan, menggunakan sandi Operasi Nusantara, dan per periode September 2016 telah berhasil menyelenggarakan Operasi Nusantara I – VII yang berkoordinasi dengan pemangku kepentingan terkait.

Operasi Nusantara I-VII

Secara kuantitas, penanganan perkara tindak pidana di laut yang dilakukan pada Januari hingga 19 September 2016 naik sebesar 300 persen dari target sebanyak 15 perkara yang direncanakan. “Jumlah yang berhasil ditangani sebanyak 45 perkara, dengan status P21 delapan perkara, SP3 15 perkara, dalam proses 17 perkara, serta yang belum ditindaklanjuti sebanyak lima perkara,” ujarnya.

Jenis perkara yang ditemui dalam Operasi Nusantara I – VII beragam. Mulai dari dokumen kapal dan pelayaran yang tidak lengkap, dugaan melakukan illegal fishing, sampai dengan kasus penyelundupan barang. Juga, dugaan penyelundupan manusia, dengan modus mempekerjakan anak buah kapal (ABK) asing tanpa dokumen yang sah.

Sejak Januari hingga Juni 2016, Bakamla RI berhasil menangkap dan memproses 27 kapal yang melakukan tindak pidana di laut. Hal itu diungkapkan Kepala Unit Penindakan Hukum Bakamla RI, Brigadir Jenderal Polisi Drs. Arifin, MH. Dari 27 kapal yang ditangkap, delapan kapal di antaranya hingga saat ini masih dalam proses pemeriksaan, sedangkan dua kapal telah dijatuhi hukuman.

Menurut Arifin, tindak pidana yang dilakukan kapal-kapal tersebut meliputi illegal fishing, illegal logging, penyelundupan narkotika, penyelundupan rokok, penyelundupan solar, penyelundupan CPO (crude palm oil), penyelundupan pasir timah, ketidaklengkapan dokumen pelayaran, dan lain-lain.

Penangkapan berhasil dilakukan sebagai hasil Operasi Nusantara I sampai V yang digelar Bakamla di tiga wilayah yang ada, Zona Maritim Wilayah Barat yang bermarkas di Batam, Wilayah Tengah di Manado, dan Wilayah Timur di Ambon.

Pada 2015, Bakamla menyelenggarakan patroli sebanyak 15 kali. Itu terdiri atas patroli mandiri enam kali, patroli bersama sembilan kali, dan patroli terkoordinasi mitra di luar negeri sebanyak tiga kali. Hasilnya, 2.100 kapal diperiksa, 40 kapal diberikan teguran, dan 28 kapal ditangkap.

Dalam pelaksanaan operasi, Bakamla didukung lembaga atau kementerian terkait dengan jumlah layar 10 jam per hari dan sekitar 4.500 personel, dengan estimasi sementara menyelamatkan potensi kerugian negara sebesar Rp 1,9 triliun atau 19 kali lipat dari DIPA (daftar isian pelaksanaan anggaran) operasi Bakamla sebesar Rp 99 miliar.

Semua prestasi itu bukan hasil kerja Bakamla sendiri, tetapi hasil kerja keras dan koordinasi yang baik dengan para pemangku kepentingan terkait. Kapal stakeholder yang terlibat di laut, adalah dari TNI AL, Polisi Air, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Bea Cukai, KPLP, Kementerian Perhubungan, dan lain-lain. Sudah bukan zamannya lagi mengklaim prestasi diri sendiri atau mendahulukan ego sektoral.

Bakamla RI harus melakukan tugas yang besar dengan sumber daya yang terbatas. Maka, kedekatan dengan stakeholder harus dibina. Seluruh personel Bakamla RI harus menjalin komunikasi dan hubungan baik dengan berbagai instansi pemerintah, untuk memudahkan dalam hal koordinasi.

“Patroli surveillance system (sistem pengawasan) juga gencar dilakukan melalui Pusat Informasi Maritim Bakamla RI. Jadi hal ini merupakan rantai kesinambungan yang harus dijaga kestabilannya,” kata Ari Soedewo.

Inspeksi Sarana dan Prasarana

Sumber daya yang dimiliki Bakamla RI, baik dari sisi personel maupun sarana dan prasarana, harus selalu dalam keadaan siap siaga untuk mengamankan lautan Nusantara. Maka, Ari Soedewo beserta jajarannya melakukan inspeksi ke berbagai wilayah, antara lain Zona Maritim Wilayah Tengah.

Hal yang dipantau Kepala Bakamla RI adalah alutsista yang terdapat di Zona Maritim Wilayah Tengah. Peralatan tersebut berupa radar, long range camera, automatic identification system (AIS), global maritime distress safety system (GMDSS), serta kapal berukuran 48 meter yang berada di Pelabuhan Lantamal VIII. Kesemuanya dapat dipastikan dalam keadaan optimal.

Dalam pengadaan armada kapal untuk mendukung kerjanya, prinsip yang digunakan Bakamla, adalah tidak ada duplikasi dari kapal yang dimiliki stakeholder. Secara empiris, penegakan hukum sipil maritim mempunyai rentang kapal antara 28 sampai 40 meter. Maka, Bakamla tidak mengadakan kapal dalam rentang itu, tetapi dipilih di bawah 28 meter atau di atas 40 meter.

Kedua, Bakamla juga merupakan bagian dari komponen cadangan. Maka, sarana di kapal Bakamla, ada dudukan untuk mendukung pertahanan, seandainya diperlukan. Bukan berarti di kapal itu terdapat peluru kendali, melainkan ada landasan dalam bentuk rangka untuk peluru kendali. Jadi, jika sewaktu-waktu dibutuhkan untuk unsur pertahanan, Bakamla juga siap. Bakamla juga harus berperan serta jika suatu saat nanti timbul konflik maritim.

Karena itu, Bakamla memilih kapal ukuran 12 meter dan 16 meter untuk jenis pemburu. Untuk kapal operasi antarpulau, dipilih yang berukuran 48 meter. Untuk laut luar, Bakamla memiliki kapal 110 meter. Selain disiapkan untuk komponen cadangan, kapal Bakamla juga berfungsi sebagai kapal latih. Sehingga, jika ada stakeholder yang ingin memakai, dipersilakan menggunakan kapal Bakamla.

Bakamla akan terus menggelar operasi di laut melalui pola sinergitas dengan stakeholder yang bergiat di laut. “Selain kegiatan operasi di lapangan, Bakamla juga akan memanfaatkan teknologi IT dari aspek surveillance yang dimiliki pada Pusat Informasi Maritim Bakamla RI, untuk mendeteksi kehadiran kapal-kapal di perairan yurisdiksi nasional,” tambah Ari Soedewo.

Ari menekankan, agar seluruh personel menerapkan disiplin kerja yang tinggi dan dapat berkontribusi dengan maksimal. “Kita harus dapat mengubah pola pikir, dari membenarkan yang biasa menjadi membiasakan yang benar,” ujarnya. Diharapkan, kinerja tinggi dapat diberikan untuk melayani masyarakat dengan menciptakan keadaan yang aman di laut. ***

Jakarta, November 2016
Ditulis untuk Majalah DEFENDER



Pesawat F-35 Pertahankan Keunggulan Israel di Udara

0
0
Oleh: Satrio Arismunandar

Di penghujung masa jabatannya, Presiden Amerika Serikat Barack Obama membuat “jasa baik” pada Israel, dengan kesepakatan bantuan militer terbesar dalam sejarah hubungan kedua negara. Meskipun Israel sering berulah dengan terus membangun permukiman Yahudi di daerah Palestina, dan menghambat proses perdamaian Israel-Palestina, toh Obama merasa perlu mengganjar Israel dengan bantuan menggiurkan.

AS menyepakati paket bantuan sebesar 38 miliar dollar AS (sekitar Rp 500,29 triliun) dalam jangka waktu 10 tahun. Penandatanganan bantuan itu dilakukan di Washington DC pada 14 September 2016. Ini adalah bantuan militer terbesar, yang belum pernah diberikan AS pada negara lain manapun. Paket bantuan ini mengukuhkan komitmen AS untuk mendukung kemajuan persenjataan Israel.

Sebelum pengumuman bantuan militer itu, militer Israel juga sudah diberi keistimewaan. Sejarah baru bagi militer Israel telah diciptakan di Dallas, Texas, Amerika Serikat, 26 Juli 2016. Ketika itu pesawat tempur siluman F-35 “milik Israel” melakukan lepas landas dalam terbang perdananya, dan sukses menjalani berbagai pengujian atas sistem keseluruhan.

Upacara roll out tradisional pesawat itu sudah dilakukan pada 22 Juni 2016, dengan kehadiran Menteri Pertahanan Israel Avigdor Liberman. Kedatangan pesawat-pesawat pertama F-35 ke Israel direncanakan berlangsung pada Desember 2016. Para pejabat senior Angkatan Udara Israel mengatakan pada Al-Monitor bahwa kedatangan jet-jet tempur F-35 Stealth ini sangat krusial untuk mempertahankan keunggulan Israel di udara.

AU Israel akan menjadi angkatan udara pertama di luar Amerika Serikat yang memiliki skuadron Stealth yang sudah operasional. Di AS sendiri, US Navy (Angkatan Laut AS) sudah membuat jajaran F-35-nya bertugas dan mengumumkan status Kapabilitas Operasi Awal (Initial Operating Capability).

Perspektif Ancaman Iran

Waktu kedatangan pesawat Stealth ke Israel sendiri tampaknya terkait dengan perspektif ancaman dari Iran. Republik Islam Iran adalah satu-satunya negara Timur Tengah, yang dianggap sebagai ancaman serius oleh militer Israel.

Seorang pejabat tinggi militer Israel, yang tak mau disebut namanya, menyatakan, “Baterai-baterai rudal darat-ke-udara S-300 yang diproduksi oleh Rusia sudah sampai di Iran. Walaupun rudal-rudal itu belum operasional, kami memperkirakan rudal itu akan operasional dalam waktu yang tidak terlalu lama.”

Kedatangan pesawat F-35 ke Israel —yang bertepatan dengan pasokan rudal S-300 Rusia ke Iran—akan mempertahankan keunggulan kualitatif Israel di ruang udara Timur Tengah.

“Dalam sebagian besar kasus, F-35 mampu menghindari radar S-300,” ucap sebuah sumber militer anonim. “Ini adalah tantangan besar bagi kami, namun kami siap menghadapinya. (Pesawat) Stealth dibangun persis untuk tujuan ini dan akan memberi kami kebebasan bergerak, bahkan terhadap perkembangan baru (di Iran) ini,” lanjutnya.

Pasukan Pertahanan Israel (IDF – Israel Defense Forces) secara umum dan angkatan udara khususnya lebih prihatin dengan kemungkinan bahwa beberapa dari rudal S-300 tersebut, yang masing-masing mampu menjangkau jarak wilayah lebih dari 300 km, akan mampu disusupkan dari Iran ke Suriah atau Lebanon. “Skenario semacam itu akan menghadirkan perubahan strategis yang besar bagi kami. Kami akan melakukan segala hal yang dimungkinkan untuk mencegah hal ini,” ujar seorang sumber militer Israel.

Juga, ada kekhawatiran bahwa militer Iran akan mempelajari sistem rudal S-300, mencoba memproduksinya sendiri, dan kemudian mentransfer pengetahuan itu ke Hizbullah di Lebanon atau Presiden Suriah Bashar al-Assad. Israel berharap, hal itu tidak akan terjadi.

Peningkatan Kapabilitas AU Israel

Dengan satu dan lain cara, AU Israel menunggu dengan rasa gairah dan tak sabar bagi kedatangan pesawat F-35. Ada perdebatan sengit tentang kapabilitas pesawat itu, yang sebelumnya sempat muncul di lingkungan AU Israel tapi harus diakhiri.

“Pesawat ini akan memperbarui keseluruhan angkatan udara dengan satu generasi teknologi yang komplit. Ini adalah transisi dari jet-jet tempur generasi-keempat ke generasi-kelima, dan bahkan lebih dari itu. Misi-misi yang kami lakukan sampai saat ini, dengan sejumlah dua-digit pesawat, akan mampu dieksekusi oleh jumlah satu-digit pesawat yang sedikit,” tutur sumber Israel.

Alasannya sederhana. Ketika AU Israel melaksanakan sebuah misi pemboman strategis yang penting, ia membutuhkan pesawat-pesawat yang akan melakukan aksi pemboman. Namun, selain itu dibutuhkan pesawat-pesawat lain, yang akan melindungi pesawat pertama dari intersepsi (serangan pesawat musuh). Juga, masih dibutuhkan pesawat lain lagi, untuk memberikan perlindungan dari serangan rudal darat-ke-udara (SAM).

Namun, pesawat F-35 mampu mengerjakan seluruh tiga tugas itu sendirian, dengan tingkat keefektifan yang luar biasa. F-35 memiliki jejak radar yang sangat kecil dan tidak terancam oleh sebagian besar SAM. Dengan adanya F-35, ini semua memberi dunia yang sama sekali berbeda.

Beberapa anggota jajaran tinggi AU Israel sudah melakukan penerbangan simulasi di sistem simulator F-35 yang canggih. “Kita sepenuhnya berada di liga yang berbeda,” ujar salah satu anggota AU Israel, menjabarkan kesannya sesudah melakukan penerbangan simulasi. “Penerbangan itu termasuk dogfight (pertarungan antar-pesawat di udara) melawan jajaran pesawat non-F-35 yang maju, dan (pesawat F-35) Stealth menang,” tegasnya.

Menurut penilaian AU Israel, pesawat-pesawat Stealth bukan hanya membawa kapabilitas baru. Namun, kehadiran mereka juga akan “menarik” pesawat-pesawat AU Israel lainnya ke depan, dan mengangkat keseluruhan korps udara Israel ke atas. Alasannya: kehebatan daya jangkau visual dari pesawat Stealth.

Pesawat-pesawat F-35 ini terbang dalam formasi dan membawa sebuah sistem, yang memungkinkan masing-masing pilot melihat gambar keseluruhan tentang arena di sekelilingnya dari ruang pilot. Pesawat-pesawat lain yang bukan F-35 juga bisa dimasukkan ke dalam sistem F-35, dan dengan demikian mereka juga memperoleh pelonjakan keunggulan yang luar biasa.

Dengan cara ini, kapabilitas ratusan pesawat tempur F-15 dan F-16 yang sudah dimiliki oleh AU Israel juga dapat mengalami peningkatan besar. Pesawat F-15 dan F-16 adalah andalan utama AU Israel saat ini. F-16 untuk menjalankan misi multiperan, sedangkan F-15 menjalankan misi serangan darat dan untuk keunggulan di udara.

Kurangi Biaya Pemeliharaan

Keuntungan lainnya adalah sejumlah besar pelajaran praktik simulator tersedia di pesawat Stealth. Konsep pelatihan di belakang F-35 adalah menghabiskan 50 persen praktik latihan pada pertarungan sesungguhnya (real fights), dan 50 persen untuk praktik simulator penerbangan. Ini merupakan perubahan revolusioner.

Saat ini, hanya 8 persen praktik penerbangan di AU Israel dilakukan di simulator. Kehadiran Stealth secara dramatis akan meningkatkan jumlah ini. Hal ini praktis merupakan penghematan besar, dalam kaitan pemeliharaan pesawat-pesawat dan kebugaran penerbangan bagi para pilot. Ini juga akan mengkompensasi biaya suku cadang F-35 Stealth. Secara umum, ini pada akhirnya akan mengurangi biaya pemeliharaan skuadron Stealth, mungkin sampai ke tingkatan biaya pemeliharaan skuadron F-15.

AU Israel akan menyerap 33 pesawat F-35 dalam dua tahun ke depan. Komandan AU Israel Mayjen Amir Eshel sebenarnya menginginkan lebih banyak F-35, namun angka 33 pesawat sebenarnya sudah cukup memadai sampai saat in. Sebuah doktrin tempur khusus untuk pesawat-pesawat F-35 ini sudah dituntaskan.

Bahkan, desas-desus bahwa F-35 memiliki kapasitas mengangkut beban yang lebih terbatas (untuk persenjataan) ketimbang pesawat-pesawat pesaingnya, sudah dibantah. Ketika F-35 terbang sambil mengurangi jejak radar (kondisi “siluman” yang maksimum), ia mampu mengangkut 2 ton bom, dan ditambah 4 rudal udara-ke-udara, persis seperti kapasitas F-16. Sedangkan, ketika pesawat F-35 tidak mengurangi jejak radarnya, F-35 mampu mengangkut 6 ton bom dan 4 rudal, persis seperti F-15.

Itu sudah lebih dari cukup bagi kebutuhan AU Israel. Pada tahap pertama dari perang, ketika risiko serangan rudal anti-pesawat sedang pada puncaknya, pesawat Stealth memiliki kapasitas angkut beban seperti F-16. Sedangkan, pada tahap kedua, ketika ancaman rudal sudah dilenyapkan, F-35 akan meningkatkan dirinya sendiri ke kapasitas angkut beban seperti F-15.

Dalam kasus manapun, pada tahap ini AU Israel tidak membutuhkan kemampuan siluman untuk terbang di atas Gaza, wilayah Palestina yang dipimpin Hamas dan kelompok militan yang menentang penjajahan Israel. Maka, pesawat F-35 bisa mengangkut 6 ton amunisi ke sana sejak menit pertama. “Ini adalah kemampuan yang fantastis. Sscara keseluruhan, ini adalah apa yang kami impikan selama in di AU Israel,” kata seorang petinggi AU Israel.

Menyerang Hamas dan Hizbullah

AU Israel menjadi ujung tombak Operation Cast Lead (2008-2009), yang melancarkan lebih dari 2.360 serangan udara. Peran utamanya adalah dalam menghancurkan sasaran-sasaran Hamas, kelompok perlawanan Palestina di daerah Gaza. Serangan AU Israel itu menewaskan beberapa komandan senior Hamas, seperti Said Seyam, Nizar Rayan, Tawfik Jaber, dan Abu Zakaria al-Jamal.

AU Israel juga mengoperasikan rudal darat-ke-udara dan unit-unit artileri anti-pesawat. Semua persenjataan ini digunakan dalam perang dan telah menembak jatuh sejumlah pesawat negara Arab.

Sejak 1990, peran utamanya adalah mengintersepsi rudal darat-ke-darat dan roket-roket yang ditembakkan ke arah Israel. Pada 2011, AU Israel memulai operasi sistem rudal anti-roket Iron Dome, yang dalam setahun telah sukses mengintersepsi dan menghancurkan 93 roket, yang ditembakkan ke kota-kota Israel dari Gaza.

AU Israel banyak melakukan serangan ke kubu Hizbullah. Pada 25 April 2015, serangkaian serangan dilakukan di kawasan al-Qalamoun, Suriah, dengan sasaran kamp-kamp Hizbullah dan konvoi persenjataan di dua pangkalan brigade.

Pada 29 Juli 2015, pesawat tempur Israel dilaporkan menghancurkan sebuah kendaraan yang berlokasi di desa Druse di Suriah baratdaya, menewaskan seorang anggota Hizbullah dan seorang milisi pro-Suriah. Serangan kedua mengambil sasaran basis militer di sepanjang perbatasan Suriah-Lebanon, yang dikuasai sebuah faksi Palestina pro-Suriah.

Menurut media Suriah, pada 31 Oktober 2015, pesawat Israel menyerang banyak sasaran Hizbullah di Suriah selatan, dekat perbatasan Lebanon, di kawasan Pegunungan Qalamoun. Diperkirakan, sasaran itu termasuk konvoi senjata yang ditujukan pada Hizbullah. Serangan pesawat Israel lainnya terjadi pada 11 November 2015 di dekat bandara Damascus, dengan sasaran gudang-gudang persenjataan Hizbullah.

Oposisi Suriah juga melaporkan serangan udara Israel di kawasan Qalamoun, perbatasan Suriah-Lebanon, pada 23 November 2015. Serangan itu dikabarkan menewaskan 13 prajurit Suriah dan pejuang Hizbullah, dan menyebabkan puluhan lainnya luka-luka, termasuk empat yang luka serius.

Paket Bantuan Militer AS

Pemberian keistimewaan pada Israel, sebagai calon pengguna pesawat F-35 pertama di luar Amerika, adalah bagian dari paket bantuan keseluruhan yang diberikan pemerintah Obama kepada pemerintah Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu. Sebelum penandatanganan paket bantuan 38 miliar dollar AS untuk jangka waktu 10 tahun, sudah dilakukan perundingan yang cukup alot selama 10 bulan.

Netanyahu awalnya menginginkan bantuan sebesar 4,5 miliar dolar AS per tahun. Sedangkan nota kesepahaman antara Israel dan AS kali ini menyebutkan, AS akan memberikan bantuan senilai 3,8 miliar dollar AS per tahun. Selama ini, bantuan AS per tahunnya mencapai 3,1 miliar dollar AS, dan kesepakatannya akan berakhir pada 2018.

Meskipun nilai bantuan AS sangat besar, ada sejumlah syarat yang harus dipenuhi Israel. Salah satunya, Israel tidak boleh lagi mencari bantuan tambahan kepada Kongres AS. Bantuan itu juga diperuntukkan untuk mendanai program rudal pertahanan baru. Dengan bantuan itu, Israel akan dapat memodernisasi dan lebih melengkapi angkatan bersenjatanya.

Secara politis, paket bantuan militer ini menunjukkan, meski AS dan Israel sering berbeda pendapat soal sejumlah isu strategis, kedua negara tetap bertekad mempertahankan hubungan strategis mereka.

Isu strategis di mana terjadi beda pendapat antara AS dan Israel itu, antara lain, soal kesepakatan nuklir antara Iran dan kelompok negara 5+1 (AS, Inggris, China, Perancis, Rusia, plus Jerman) pada Juli 2015. Kesepakatan ini sangat ditentang oleh Israel, karena dianggap akan memberi peluang bagi Iran untuk terus mengembangkan program nuklirnya.

AS dan Israel juga berbeda pendapat soal pembangunan permukiman Yahudi di daerah Palestina yang diduduki Israel. Pembangunan permukiman Yahudi ini terus digalakkan oleh pemerintah Netanyahu yang berhaluan keras, dan dianggap oleh AS dan Palestina sebagai penghambat proses perdamaian Palestina-Israel.***

Jakarta, November 2016
Ditulis untuk Majalah DEFENDER

Mengantisipasi Tantangan Perang Hibrida (Hybrid War)

0
0
Oleh: Satrio Arismunandar

Ada berbagai macam jenis perang modern yang bisa melibatkan Indonesia. Ada yang dinamakan perang proksi (proxy war), yakni perang dengan meminjam tangan pihak lain. Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo sudah sering mengingatkan tentang ancaman perang proksi. Namun, yang belum banyak dibahas adalah jenis perang lain, yaitu perang hibrida.

Mantan Kepala Staf Angkatan Darat Amerika Serikat, Jenderal George W. Casey, sudah bicara tentang sebuah jenis baru perang, yang akan semakin umum terjadi di masa depan. “Yaitu, sebuah hibrida antara perang ireguler dan perang konvensional,” ujarnya.

Perang hibrida (hybrid war) adalah strategi militer yang mencampurkan perang konvensional, perang iregular, dan perang siber. Dalam perang ini, dengan mengombinasikan operasi-operasi kinetik dengan upaya-upaya subversif, pihak agresor bermaksud untuk menghindari atribusi atau retribusi.

Atribusi berarti identifikasi yang jelas tentang aktor pelaku, sehingga menghindari atribusi berarti menampilkan ketidakjelasan tentang aktor pelaku yang sesungguhnya. Sedangkan, retribusi berarti tindak balasan dari pihak yang diserang kepada aktor pelaku. Dengan tidak jelasnya identifikasi pelaku, otomatis tindakan pembalasan juga menjadi tidak mudah dilakukan.

Perang hibrida dapat digunakan untuk menjabarkan dinamika yang kompleks dan luwes dari ruang pertempuran. Dinamika ini menuntut tanggapan yang ulet, dan tanggapan yang sangat tinggi tingkat adaptasi atau penyesuaian dirinya.

Ada beragam istilah yang sering digunakan untuk merujuk ke konsep perang hibrida, yakni: hybrid war, hybrid warfare, hybrid threat, atau hybrid adversary. Badan-badan militer Amerika cenderung bicara dalam kerangka “ancaman hibrida” (hybrid threat), sementara berbagai literatur akademik bicara tentang “perang hibrida” (hybrid warfare). Dalam artikel ini, kedua istilah itu bisa digunakan secara silih berganti dalam makna yang sama.

Definisi AS dan NATO

Komando Pasukan Gabungan Amerika Serikat merumuskan ancaman hibrida sebagai, “setiap musuh yang secara serempak dan adaptif menerapkan campuran yang disesuaikan antara cara-cara atau aktivitas-aktivitas konvensional, ireguler, terorisme, dan kriminal, di ruang pertempuran operasional. Ketimbang sebagai entitas tunggal, suatu ancaman atau penantang hibrida mungkin merupakan kombinasi dari aktor-aktor negara dan non-negara.”

Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) menggunakan definisi yang lebih pendek dan sederhana. NATO mendefinisikan ancaman hibrida sebagai “musuh-musuh yang memiliki kemampuan, untuk dengan serempak menerapkan cara-cara konvensional dan non-konvensional secara adaptif, dalam mengejar tujuan mereka.”

Tidak ada definisi perang hibrida yang diterima secara universal. Sehingga, hal ini menjurus ke sejumlah perdebatan, tentang apakah istilah itu betul-betul berguna. Beberapa kalangan mengatakan, istilah itu terlalu abstrak. Istilah itu hanya merupakan istilah terakhir, untuk merujuk ke metode-metode ireguler, atau metode yang tidak biasa, untuk menandingi kekuatan yang lebih unggul secara konvensional.

Berbagai Aspek Perang Hibrida

Perang hibrida adalah perang dengan aspek-aspek sebagai berikut:

Pertama, musuh yang non-standar, kompleks, dan cair. Musuh hibrida bisa berupa negara atau non-negara. Misalnya, dalam kasus perang Israel-Hizbullah dan Perang Saudara Suriah, pihak-pihak utama yang bermusuhan adalah entitas non-negara di dalam sistem negara.

Aktor-aktor non-negara ini dapat menjadi proksi (kepanjangan tangan) dari negara tertentu, namun mereka juga memiliki agenda-agenda tersendiri. Misalnya, Iran adalah sponsor Hizbullah yang berbasis di Lebanon. Namun, insiden “penculikan tentara Israel” adalah agenda Hizbullah, dan bukan agenda Iran. Insiden inilah yang kemudian memicu perang Israel-Hizbullah.

Di sisi lain, keterlibatan Rusia di Ukraina dapat dijabarkan sebagai aktor negara tradisional, yang melancarkan perang hibrida (sebagai tambahan dari penggunaan proksi hibrida lokal). Rusia diketahui mendukung warga Crimea berbahasa Rusia di dalam wilayah Ukraina, yang menentang pemerintah Ukraina. Namun perlu dicatat, bahwa Rusia membantah keterlibatan dalam konflik Ukraina.

Kedua, musuh hibrida menggunakan kombinasi metode-metode konvensional dan ireguler. Metode dan taktik itu termasuk kapabilitas konvensional, taktik-taktik ireguler, formasi-formasi ireguler, aksi-aksi teroris, kekerasan tanpa pandang bulu, dan aktivitas kriminal. Musuh hibrida juga menggunakan aksi-aksi rahasia (clandestine actions) untuk menghindari atribusi atau retribusi.

Metode-metode ini digunakan secara serempak di seluruh spektrum konflik dengan sebuah strategi terpadu (unified strategy). Contoh terbaru adalah aspirasi-aspirasi transnasional dari kelompok ekstrem ISIS (Islamic State of Iraq and Syria atau Negara Islam di Irak dan Suriah), taktik-taktik campuran, formasi-formasi terstruktur, dan penggunaan teror yang kasar sebagai bagian dari persenjataan mereka.

Ketiga, musuh hibrida bersifat luwes dan mampu beradaptasi secara cepat. Contohnya, adalah tanggapan ISIS terhadap kampanye pemboman besar-besaran militer Amerika. ISIS dengan cepat mengurangi jumlah pos pemeriksaan (checkpoints) dan penggunaan telepon seluler (karena sinyal telepon seluler bisa dilacak oleh rudal Amerika). Para anggota militan ISIS juga membaur di kalangan penduduk sipil. Dampak kerusakan (collateral damage) akibat pemboman udara AS, yang diderita warga sipil, bahkan dapat dimanfaatkan ISIS sebagai alat propaganda dan sarana rekrutmen anggota baru.

Komunikasi Massa dan Propaganda

Keempat, musuh hibrida menggunakan sistem persenjataan canggih dan teknologi-teknologi disruptif lain. Senjata-senjata ini sekarang dapat dibeli dengan harga yang relatif murah dan terjangkau. Lebih jauh, teknologi-teknologi militer baru lainnya dapat disesuaikan untuk penggunaan di medan tempur, seperti teknologi jejaring seluler.

Pada 2006, pasukan Hizbullah dilengkapi dengan senjata-senjata berteknologi tinggi, seperti rudal presisi yang biasa digunakan negara-bangsa. Pasukan Hizbullah berhasil menembak jatuh sejumlah helikopter Israel, merusak parah sebuah kapal patroli dengan rudal jelajah, dan menghancurkan tank-tank lapis baja kelas berat Merkava IV, dengan penembakan rudal dari bunker-bunker tersembunyi.

Hizbullah juga menggunakan pesawat nir-awak (drone) untuk mengumpulkan data intelijen, berkomunikasi dengan telepon seluler bersandi, dan mengawasi gerakan pasukan Israel dengan peralatan termal penglihat malam (night-vision equipment). Dalam perang itu, 3.000 pejuang Hizbullah yang membaur dalam penduduk Lebanon Selatan diserang oleh 30.000 pasukan reguler Israel.

Kelima, penggunaan komunikasi massa dan propaganda. Pertumbuhan jejaring komunikasi massa menawarkan alat propaganda dan rekrutmen yang kuat. ISIS, misalnya, dengan piawai menggunakan berbagai media sosial untuk mempromosikan ideologi dan agendanya. Berbagai gambar yang menunjukkan “kehebatan” ISIS disebar melalui Youtube. Sementara pesan-pesan propaganda kelompok bisa dibaca meluas melalui Twitter dan Facebook.

Dalam kasus perang Israel-Hizbullah, jaringan komunikasi massa Hizbullah dengan cepat menyebarkan foto-foto dan video tentang situasi medan pertempuran, yang mendominasi perang persepsi di sepanjang konflik. Israel tidak kalah perang di medan tempur, namun kalah dalam perang informasi, karena persepsi yang umum mendominasi pada waktu itu adalah bahwa militer Israel kalah. Hizbullah dianggap sukses bertahan melawan pasukan Israel yang berjumlah jauh lebih besar, meski basis Hizbullah dihujani bom-bom berat oleh pesawat-pesawat tempur Israel.

Bagaimanapun, meski meraih sukses di tingkatan taktis dan propaganda, korban di pihak Hizbullah sangat berat. Sedikitnya 600 pejuang tewas dan sejumlah korban lain luka-luka. Di sisi lain, Israel berhasil mencapai tujuan politiknya, untuk menangkal serangan-serangan Hizbullah.

Dari musim panas 2000 sampai musim panas 2006, Hizbullah telah melancarkan hampir 200 serangan ke Israel. Namun, selama enam tahun sesudahnya, Hizbullah sepenuhnya menahan diri dan tidak menyerang Israel. Hizbullah secara jelas mengambil jarak –dan menyatakan tidak terlibat-- dalam serangan-serangan terhadap Israel oleh pihak-pihak lain yang berbasis di Lebanon.

Tiga Medan Tempur Berbeda

Keenam, sebuah perang hibrida terjadi pada tiga medan tempur yang berbeda. Yakni, medan tempur konvensional, penduduk asli yang berada di zona konflik, dan komunitas internasional. Kehadiran tentara Amerika di Irak sejak invasi 2003 diwarnai oleh tiga medan tempur tersebut. Dalam medan tempur konvensional, pasukan AS yang unggul dalam kecanggihan teknologi perang telah menang telak, dengan berhasil menaklukkan militer Irak, yang waktu itu masih dipimpin oleh Presiden Irak Saddam Hussein.

Tetapi setelah menduduki Irak, pasukan AS –yang kehadirannya tidak populer di Irak-- kerepotan menghadapi berbagai aksi serangan bom dan teror dari berbagai kelompok di Irak. Kelompok-kelompok yang anti-AS tersebut membaur di lingkungan penduduk asli setempat, dan tidak mudah bagi AS menghadapi musuh yang membaur di kalangan penduduk. Untuk memenangkan perang, pasukan AS harus mendapat simpati dan dukungan dari warga setempat, tetapi ternyata hal ini tidak mudah.

Sedangkan di mata komunitas internasional, kehadiran pasukan AS yang berkepanjangan juga tidak menguntungkan. Di dalam negeri Amerika, sebagian warga AS berpendapat, tidak ada gunanya mempertahankan pasukan AS di Irak, apalagi banyak prajurit AS yang tewas akibat serangan bom dari kelompok perlawanan. Di negara-negara Arab, termasuk di Irak sendiri, oleh banyak warga, pasukan AS dipandang sebagai pasukan “penjajah” dan kekuatan kolonial-imperialis yang menduduki negara lain.

Pasukan militer tradisional umumnya merasa sulit merespons perang hibrida. Negara-negara yang menjadi bagian dari sistem pertahanan kolektif, seperti NATO, mungkin sulit mencapai kata sepakat tentang sumber konflik. Maka, hal ini menimbulkan kesulitan pula untuk merespons. Selain itu, untuk menandingi ancaman hibrida, kekuatan keras (hard power) sering tidak memadai. Kekuatan yang jauh lebih besar tidaklah cukup untuk jadi penangkal (deteren).

Sering kali konflik muncul tanpa disadari, dan bahkan tanggapan yang dianggap “cepat” terbukti kemudian sudah terlambat. Banyak militer tradisional juga kurang memiliki keluwesan untuk berganti taktik, prioritas, dan tujuan-tujuan secara konstan atau terus-menerus.

Contoh Perang Hibrida

Kombinasi metode-metode konvensional dan ireguler dalam perang sebenarnya bukanlah hal yang baru. Cara-cara ini sudah diterapkan di sepanjang sejarah militer. Ada sejumlah contoh yang bisa ditemukan pada Perang Revolusi Amerika, yang melibatkan kombinasi Tentara Kontinental Washington dengan pasukan milisi. Juga, pada Perang-perang Napoleon di Eropa, di mana pasukan reguler Inggris bekerjasama dengan gerilyawan Spanyol.

Berakhirnya Perang Dingin antara Amerika Serikat versus Uni Soviet telah menciptakan sistem unipolar, di mana kekuatan militer Amerika menjadi kekuatan yang dominan. Perkembangan ini telah meredakan konflik-konflik tradisional. Namun, konflik dan ancaman regional --yang menggoyang kelemahan struktur militer konvensional-- telah menjadi semakin sering terjadi.

Hal yang juga baru adalah kecanggihan (sophistication) dan daya mematikan (lethality) dari aktor-aktor non-negara. Aktor-aktor ini dipersenjatai dengan baik, menggunakan senjata-senjata maju yang sekarang tersedia dengan harga relatif murah. Sebuah unsur baru lain adalah kemampuan aktor-aktor non-negara untuk bertahan dalam sistem modern.

Contoh perang hibrida lain adalah pada 2014, ketika kelompok ekstrem ISIS sebagai aktor non-negara memanfaatkan taktik-taktik hibrida untuk melawan pasukan militer konvensional Irak. ISIS memiliki aspirasi-aspirasi transisional, menggunakan taktik-taktik reguler dan ireguler, serta menerapkan teror sebagai bagian dari persenjataannya dalam konflik.

Gerak maju pasukan ISIS yang cepat di Irak telah mengejutkan banyak pihak. Menanggapi langkah ISIS, otoritas Irak sendiri juga beralih menggunakan taktik-taktik hibrida, dengan memanfaatkan aktor-aktor internasional dan non-negara, untuk mengimbangi gerak maju ISIS.

Amerika sendiri adalah peserta hibrida dalam konflik ini, melalui kombinasi kekuatan udara tradisional, penyediaan penasihat-penasihat bagi pasukan pemerintah Irak, pasukan Peshmerga Kurdi, dan milisi-milisi sektarian, dan memberi pelatihan pada pasukan-pasukan oposisi di dalam wilayah Suriah.

Perang hibrida di Irak dan Suriah adalah konflik di mana terdapat kelompok aktor-aktor negara dan non-negara yang saling berkaitan (interconnected), yang mengejar tujuan-tujuan yang tumpang tindih, serta sebuah negara setempat yang lemah. Perang ini melibatkan pasukan pemerintah, kelompok-kelompok oposisi, dan negara-negara luar.

Melihat dinamika konflik yang sudah dan mungkin akan terjadi di masa depan, ancaman perang hibrida jelas adalah sesuatu yang nyata. Apalagi jika kita melihat konteks regional dan internasional. TNI perlu mencermati dan mendalami lebih lanjut tentang berbagai aspek dan komplikasi perang hibrida, sehingga siap menghadapi segala potensi ancaman di masa mendatang. ***

Jakarta, November 2016
Ditulis untuk Majalah DEFENDER

Jokowi dan Jalan Pedang Musashi

0
0
Oleh: Satrio Arismunandar

Bagi sebagian pembaca, judul tulisan ini mungkin terkesan mengada-ada. Apa hubungannya antara Presiden Joko Widodo (Jokowi) dengan “Jalan Pedang” Musashi? Bahkan, bagi pembaca yang kurang akrab dengan sejarah dan budaya Jepang, pertanyaannya mungkin lebih mendasar lagi: Musashi itu siapa?

Tulisan ini mencoba mengangkat, mengkritisi, dan memaknai perjalanan karir politik Jokowi, sesudah hampir dua tahun memimpin pemerintahan. Analisis yang digunakan bukan dari perspektif politik, yang sudah banyak dilakukan oleh para pengamat lain, tetapi menggunakan pendekatan budaya, persisnya melalui filsafat “Jalan Pedang” Musashi.

Bagi pengamat politik nasional, naik-turunnya popularitas Jokowi sejak resmi menjadi Presiden tahun 2014 dan langkah-langkahnya di pemerintahan menjadi fenomena menarik. Tentu, ada pujian dan kritik, bahkan kecaman, terhadap langkah Jokowi sebagai kepala pemerintahan. Dengan niat baik menuju perbaikan, tulisan ini mencoba memaknai kiprah Jokowi selama dua tahun memimpin dari perspektif jalan pedang Musashi.

Miyamoto Musashi (1584-1645), atau disebut juga Shinmen Takezo, Miyamoto Bennosuke, atau Niten Doraku, adalah seorang ronin atau samurai tak bertuan, dan jago pedang Jepang yang sangat terkenal di abad pertengahan. Berbagai kisah menuturkan kehebatannya memainkan pedang. Ia memegang rekor tak terkalahkan, dalam 60 kali duel yang pernah dilakukannya. Pada tahun-tahun terakhir hidupnya, Musashi mengarang kitab Go Rin no Sho (Buku Lima Cincin), sebuah buku tentang strategi, taktik, dan filsafat, yang terus dijadikan bahan kajian sampai hari ini.

Musashi awalnya adalah seorang pemuda yang liar dan sulit diatur. Masa kecilnya tidak bahagia. Ia tidak akur dengan ayahnya, seorang samurai pemilik tanah, karena Musashi sering mengritik keras seni bela diri ayahnya. Sebelum berusia 13 tahun, Musashi kabur dan tinggal dengan pamannya. Tapi di usia itu, ia sudah mampu mengalahkan seorang pendekar pedang. Pada usia 16 tahun, Musashi kembali bertarung dengan seorang samurai tangguh dan menang lagi.

Mendapat Pencerahan

Mulai saat itu, ia memutuskan pergi bertualang mengikuti “Jalan Pedang”. Musashi mendapat pencerahan sesudah bertemu Soho Takuan, seorang biksu Zen. Selama tiga tahun dalam bimbingan Takuan, Musashi tinggal di puri Ikeda dan mempelajari beragam buku, mulai dari seni perang Sun Tzu, Taoisme, Zen, sampai sejarah Jepang. Selesai menjalani pembelajaran, pada usia 21 tahun, Musashi mulai berkelana lagi.

Duel puncak Musashi adalah saat melawan Sasaki Kojiro, jago pedang yang masih muda dan sangat tangguh. Kojiro adalah sosok pemain pedang ideal pada zaman itu: garis keturunannya tak tercela dan guru-gurunya ternama. Lewat disiplin latihan yang tinggi, Kojiro mencapai tingkat kekuatan dan kecepatan memainkan pedang yang luar biasa. Dikisahkan, ia mampu menebas walet dan lalat yang terbang di dekatnya.

Namun, pada duel mereka di Pulau Funajima, ternyata Musashi berhasil mengalahkan Kojiro. Kepala Kojiro pecah oleh tebasan Musashi, padahal Kojiro lebih cepat dan lebih kuat daripada Musashi. Sesudah pertarungan itulah Musashi mendapat pencerahan baru. Kunci kemenangan dalam pertarungan terutama bukanlah terletak pada keterampilan seni berperang, kecepatan, dan kekuatan, tetapi pada prinsip atau semangat. Pada pertarungan itu, Kojiro mengandalkan pada pedang kecepatan dan pedang kekuatan, sedangkan Musashi menggunakan pedang semangat.
Bagi Musashi, kemenangan sebuah pertarungan terletak pada prinsip atau semangat, bukan tipuan dan ketidakjujuran. Dalam kitab Go Rin no Sho Go, Musashi menulis: “Jalan seni adalah langsung dan benar, jadi kau harus dengan tegas berusaha mengejar orang-orang lain dan menundukkan mereka dengan prinsip-prinsip sejati.”

“Jalan” dalam bahasa Jepang disebut do, seperti halnya akhiran –do yang biasa ada di aliran-aliran bela diri seperti kendo, aikido, karate-do, dan sebagainya. Artinya, ilmu beladiri tersebut bukanlah sekadar beladiri, tapi juga disiplin dan jalan hidup. Tiap beladiri memiliki filosofi sangat dalam. Hidup yang sesuai jalannya akan mengantar pada kebahagiaan dan petunjuk untuk hidup yang benar.

Kembali ke Pedang Semangat

Dari sinilah, kita melihat relevansi “Jalan Pedang” Musashi dengan kiprah Jokowi. Pedang prinsip dan semangat adalah yang mengantar Jokowi memenangkan pemilihan presiden 2014. Semangat itulah yang ditangkap oleh rakyat pemilih, sehingga seorang mantan walikota yang “tidak ada apa-apanya” bisa mengalahkan seorang jenderal, dari keturunan terpandang, dengan latar belakang yang luar biasa.

Namun, ketika sudah mulai menjalani pemerintahan, Jokowi tak terhindarkan menjadi bagian dari real-politik di Indonesia. Jokowi berhadapan, berurusan, dan sampai tahap tertentu terpaksa berkompromi dengan pragmatisme di sekitarnya, tawar-menawar politik, dan langkah-langkah transaksional. Dalam filosofi “Jalan Pedang,” praktik-praktik ini adalah bersandar pada kekuatan, kecepatan, dan keterampilan bermain pedang belaka.

Dua tahun berkuasa, Jokowi memang makin terampil berpolitik praktis dan makin paham bagaimana cara “bermain.” Tetapi sadar atau tak sadar, Jokowi bisa saja terlarut. Ia telah beralih mengandalkan pedang kekuatan dan pedang kecepatan seperti Kojiro, bukan lagi pedang semangat Musashi.

Program Nawacita dan “revolusi mental” sebagai wujud “pedang semangat” terasa memudar. Kini, tak ada salahnya Jokowi merenung diri. Jokowi harus sadar dan kembali ke “Jalan Pedang” Musashi, karena dalam semangat dan prinsip itulah letak kekuatan sejati seorang Jokowi. ***

*Satrio Arismunandar, praktisi media, Doktor Ilmu Filsafat dari Universitas Indonesia.
Kontak:
HP : 0812-8629-9061
E-mail : arismunandar.satrio@gmail.com
Bank Acc.: 1570003445278 (Bank Mandiri) atas nama Satrio Arismunandar

Mempertanyakan Komitmen Indonesia dalam Penurunan Emisi Global

0
0
Oleh: Satrio Arismunandar

Bicara soal lingkungan hidup mungkin tidak semenarik bicara soal politik. Apalagi politik nasional sedang hangat-hangatnya akhir-akhir ini. Namun, bicara soal lingkungan hidup adalah bicara tentang masa depan umat manusia, dan Indonesia berpartisipasi dalam kelangsungan hidup umat manusia tersebut.

Ratifikasi Perjanjian Paris oleh Pemerintah Indonesia, pada Oktober 2016, adalah kabar baik. Ini memberikan harapan dan sinyal bahwa pemerintah siap untuk mengambil langkah-langkah yang berarti dan mengikat, untuk melindungi Indonesia dari dampak buruk perubahan iklim, termasuk menyebabkan kematian dini di seluruh Asia Tenggara.

Emisi gas rumah kaca dari perusakan hutan terus meningkat. Pengeringan dan kebakaran lahan gambut berkontribusi sangat besar terhadap total emisi nasional. Maka, sekarang adalah waktunya bagi Indonesia untuk memenuhi komitmen yang telah dibuat pada Deklarasi hutan di New York 2014, untuk mengakhiri deforestasi dan melindungi lahan gambut secara total.

Menurut Greenpeace Indonesia dalam siaran persnya, transparansi adalah kunci untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi hijau dan penurunan emisi yang telah ditetapkan pemerintah. Ini artinya kredibilitas proses bergantung pada bagaimana semua stakeholder memiliki akses terhadap kebijakan dan data, yang memungkinkan pemantauan independen dan verifikasi terhadap klaim pemerintah. Sayangnya, nilai-nilai tersebut belum tercermin di seluruh level pemerintahan Joko Widodo.

Hal yang paling penting adalah apa yang akan dilakukan setelah ratifikasi. Implementasi penurunan emisi yang telah dijanjikan haruslah secara sinergi diadopsi oleh semua sektor. Juga, bagaimana konsep pembangunan Indonesia beralih menuju penerapan ekonomi rendah karbon.

Sektor energi, khususnya batubara, memainkan peran strategis dalam menurunkan emisi gas rumah kaca. Pada 2008, pembakaran batubara ditaksir menyumbang 50 persen dari emisi SO2 dari sektor energi. Sisanya, 30 persen emisi PM10 dan 28 persen emisi NOx. Dan pembakaran batubara berpotensi meningkatkan risiko penyakit serius, seperti kanker paru-paru, stroke, penyakit jantung, penyakit pernafasan kronis, dan infeksi pernafasan akut.

Perhitungan Greenpeace, yang memasukkan biaya kesehatan dan biaya pemanasan global ke dalam biaya pembangkitan listrik dari batubara di Indonesia, menunjukkan bahwa biaya pemanasan global terhitung 11% dari total biaya. Biaya tersebut hanya sedikit lebih rendah dibandingkan biaya modal dan biaya bahan bakar, yang menyumbang 12% dan 15%, dan lebih tinggi dari biaya operasi dan pemeliharaan (7%).

Maraknya pembangunan pembangkit batubara bertentangan dengan janji pemerintah untuk mengurangi emisi di sektor energi. Jika kita merujuk pada draft NDC (Nationally Determined Contribution) Agustus 2016 yang telah disusun Pemerintah Indonesia, sektor energi diharapkan menyumbang 15,87 persen penurunan emisi di bawah skenario penurunan emisi 29 persen, dan 18,76 persen di bawah skenario penurunan emisi 41 persen.

Namun faktanya, konsumsi energi Indonesia masih sangat tergantung pada bahan bakar fosil, khususnya batubara sebagai sumber utama pembangkitan listrik. Dalam rencana besar elektrifikasi nusantara, pemerintah akan membangun tambahan 35 gigawatt (GW) pembangkit listrik baru hingga 2019, di mana sebanyak 22 GW berasal dari PLTU batubara. Pemenuhan sumber kelistrikan Indonesia yang masih akan didominasi oleh batubara dapat dilihat pada Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2016-2025.

Dengan tidak ada pengurangan porsi batubara dalam RUPTL, Greenpeace mengkalkulasi, dengan asumsi setiap 1.000 MW PLTU batubara mengeluarkan 6 juta ton karbondioksida per tahun, maka perkiraan jumlah karbondioksida dari pembangkit batubara di seluruh Indonesia pada 2025 akan mencapai 332 juta ton per tahun, yang setara dengan emisi karbondioksida tahunan dari 69,7 juta kendaraan. Dengan kata lain, proyek-proyek pembangkit listrik batubara baru diproyeksi bisa menyumbang hampir 192 juta ton karbondioksida per tahun.

Sedangkan untuk menjaga kenaikan suhu bumi di bawah 1,5 derajat celcius, kita harus mencapai nol karbon pada 2060-2080. Artinya, pemerintah harus mengambil langkah progresif untuk mengakhiri era batubara dan beralih pada energi bersih.

Upaya pemerintah untuk menggunakan Clean Coal Technology (CCT) ataupun Carbon Capture Storage (CCS) guna menurunkan emisi tidak akan menyelesaikan masalah. Penggunaan teknologi Ultra Super Critical, yang direncanakan pada PLTU-PLTU baru (termasuk dalam kategori Clean Coal Technology), tetap akan mengeluarkan 5,4 juta ton karbondioksida per tahun untuk per 1000 MW pembangkit batubara.

USC hanya akan mengurangi emisi sebesar 10-15% apabila dibandingkan dengan teknologi sub critical. Sedangkan teknologi CCS sampai detik ini belum terbukti dapat digunakan secara komersial oleh pembangkit manapun di seluruh dunia.

Sementara itu, peralihan bahan bakar fosil menuju energi terbarukan masih terlalu lambat. Bahkan target moderat bauran energi yaitu penggunaan setidaknya 23% energi dari sumber baru dan terbarukan pada 2025 tampaknya tidak akan tercapai dengan praktik saat ini.

Kurangnya kemauan politik dari pemerintah Indonesia, tercermin dari kurangnya insentif dan bantuan untuk pengembangan teknologi energi terbarukan. Kedua hal ini adalah akar dari kegagalan untuk melakukan peralihan cepat dari bahan bakar fosil menuju energi terbarukan.

Oleh sebab itu, untuk memenuhi janjinya, pemerintah harus mengubah strategi dan kebijakan energinya dengan mengambil langkah-langkah berikut:

Pertama, menghentikan rencana proyek-proyek PLTU batubara yang baru. Hal ini harus diterjemahkan ke dalam kebijakan yang konkret, di antaranya dengan memastikan kebijakan ini diadopsi dalam revisi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN 2014-2019), serta dengan merevisi RUPTL 2016-2025.

Kedua, mempersiapkan berakhirnya peran PLTU batubara dan memperbaiki pengawasan PLTU yang ada. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral harus menyiapkan peta jalan menuju 2030 dengan target interim yang jelas, yaitu mempromosikan peralihan cepat dari energi batubara menuju energi terbarukan. Juga diperlukan pemantauan yang transparan terhadap emisi dari PLTU batubara yang beroperasi saat ini, dan memperkuat penegakan hukum serta penerapan sanksi bila terdapat ketidakpatuhan.

Ketiga, menetapkan target yang lebih ambisius untuk memperbesar pangsa energi terbarukan dalam bauran energi nasional untuk mengganti energi batubara pada 2030. Agar hal ini efektif dijalankan, pemerintah harus: (1) menyediakan insentif yang pantas untuk pengembangan energi terbarukan; (2) mendukung pengembangan teknologi yang terkait dengan energi terbarukan; (3) fokus pada sumber energi terbarukan yang melimpah-ruah di Indonesia seperti panas bumi, tenaga air dan angin. ***

Jakarta, November 2016

Ditulis untuk Aktual.com

Bahan-bahan: Sebagian besar dikutip dari Greenpeace.

Sheikh Ahmad Yassin, Pendiri dan Pemimpin Spiritual Hamas

0
0
Oleh: Satrio Arismunandar

Palestina, yang masih berjuang untuk merdeka dari penjajahan Israel, tak pernah kekurangan tokoh pejuang. Salah satu tokoh terkemuka yang syahid dalam melawan Israel adalah Sheikh Ahmad Yassin. Yassin adalah pendiri sekaligus pemimpin spiritual Hamas (Gerakan Perlawanan Islam) yang berbasis di Jalur Gaza, daerah pendudukan Israel.

Tokoh yang bernama lengkap Sheikh Ahmad Ismail Hassan Yassin ini lahir pada 1937 dan gugur oleh serangan helikopter militer Israel pada 22 Maret 2004. Yassin mendirikan organisasi paramiliter sekaligus partai politik Hamas, yang meraih popularitas dalam masyarakat Palestina.

Hamas menjadi kekuatan alternatif di Palestina selain PLO (Organisasi Pembebasan Palestina) pimpinan Yasser Arafat. Popularitas Hamas menguat, ketika para pimpinan PLO dianggap korup, birokratis, oportunis, dan mengalami kemunduran terus-menerus dalam memperjuangkan kemerdekaan Palestina.

Hamas bukan cuma bisa bertempur melawan Zionis Israel, tetapi juga mendirikan rumah sakit, sekolah, perpustakaan, dan pelayanan umum lain. Hamas juga mengklaim bertanggung jawab atas sejumlah aksi serangan bunuh diri ke Israel. Akibatnya, Amerika, Israel, Uni Eropa, Jepang, dan Kanada menyebut Hamas sebagai “organisasi teroris.”

Ahmed Yassin lahir di al-Jura, sebuah desa kecil dekat kota Ashkelon, Palestina, yang waktu itu masih di bawah Mandat Inggris. Tanggal kelahirannya tidak diketahui pasti. Menurut paspor Palestinanya, ia lahir pada 1 Januari 1929, namun ia mengaku sebenarnya lahir pada 1937.

Ayahnya, Abdullah Yassin, meninggal ketika sang putra baru berusia tiga tahun. Sesudah itu, di lingkungannya ia dikenal sebagai Ahmad Sa'ada, mengikuti nama ibunya Sa'ada al-Habeel. Ini untuk membedakan dirinya dari anak-anak lain dari almarhum ayahnya, yang memiliki empat istri.

Secara keseluruhan, Yassin memiliki empat saudara laki-laki dan dua saudara perempuan. Awalnya, keluarga Yassin adalah dari kelas menengah petani yang cukup berada. Namun, Yassin dan seluruh keluarganya terpaksa mengungsi ke Gaza, dan tinggal di kamp pengungsi al-Shati, sesudah desanya direbut oleh militer Zionis pada Perang Arab-Israel 1948.

Ahmad Yassin adalah seorang tunadaksa yang bisa dibilang separuh tunanetra. Ia menggunakan kursi roda sejak menderita cedera tulang belakang yang parah, ketika bermain adu gulat dengan temannya pada usia 12 tahun. Kerusakan syaraf tulang belakang itu membuatnya jadi tunadaksa sampai akhir hidupnya.

Meskipun Yassin sempat mengenyam kuliah sastra Inggris di Universitas Ain Shams, Cairo, Mesir, ia tak sanggup meneruskan kuliahnya karena kesehatannya yang merosot. Ia dipaksa untuk belajar di rumah, di mana ia membaca banyak buku, khususnya buku tentang filsafat, agama, politik, sosiologi, dan ekonomi.

Para pengikutnya meyakini, pengetahuannya yang luas membuat Yassin menjadi “salah satu pembicara terbaik di Jalur Gaza.” Selama jangka waktu itu, ia mulai memberikan khotbah-khotbah mingguan sesudah ibadah sholat Jumat, yang menarik minat banyak orang.

Sesudah bertahun-tahun menganggur, Yassin akhirnya mendapat pekerjaan sebagai guru bahasa Arab di Sekolah Dasar di Rimal, Gaza. Semula pihak sekolah ragu mempekerjakan dia karena ketunadaksaannya. Namun, meski menderita kelumpuhan, ternyata Yassin mampu mengajar dengan baik, dan popularitasnya pun tumbuh.

Sesudah memiliki pekerjaan tetap, kondisi keuangannya mulai stabil. Maka, Yassin menikahi salah satu kerabatnya, Halima Yassin pada 1960, di usia 22 tahun. Pasangan itu lalu memperoleh 11 anak.

Yassin kemudian mulai terlibat pada gerakan Ikhwanul Muslimin cabang Palestina. Gerakan ini awalnya berasal dari Mesir. Pada 1984, Yassin dan teman-temannya dipenjara karena ketahuan secara diam-diam menimbun senjata. Pada 1985, ia dibebaskan sebagai bagian dari Persetujuan Jibril.

Pada 1987, selama gerakan Intifada Pertama, Yassin bersama Abdel Aziz al-Rantisi mendirikan Hamas, dan menyebutnya sebagai “sayap paramiliter” Ikhwanul Muslimin Palestina. Yassin pun menjadi pemimpin spiritual Hamas.

Dalam pandangan politiknya, Yassin menentang proses perdamaian antara Palestina dan Israel. Ia mendukung perlawanan bersenjata terhadap Israel, dan sangat vokal dalam menyuarakan pandangannya itu. Yassin menegaskan, Palestina adalah tanah Islam “yang ditahbiskan untuk generasi-generasi Muslim masa depan sampai Hari Kiamat.” Menurut Yassin, tak satu pun pemimpin Arab yang memiliki hak untuk menyerahkan satu jengkal pun tanah Palestina.

Dalam retorikanya, Yassin tidak membedakan antara Israel dan Yahudi. Namun, Yassin juga dikutip pernah menyatakan, ia tak punya masalah dengan Yahudi sebagai bangsa, dan konfliknya dengan Yahudi adalah bersifat politik, bukan agama. Pernyataan Yassin bahwa “kita telah memilih jalan ini, dan akan berujung dengan syahid atau kemenangan” kemudian menjadi slogan populer yang diulang-ulang oleh warga Palestina.

Pada 1989, Yassin ditangkap oleh Israel dan dihukum penjara seumur hidup. Namun, pada 1997, Yassin dibebaskan dari penjara Israel sebagai bagian dari kesepakatan Israel-Yordania, sesudah terjadinya usaha pembunuhan yang gagal oleh dua agen Mossad Israel terhadap tokoh Hamas, Khaled Mashal, di Yordania. Dua agen Mossad itu ditangkap oleh otoritas Yordania, dan lalu dibebaskan lagi, karena ditukar dengan dibebaskannya Yassin dari penjara Israel.

Sebagai syarat pembebasannya, Yassin diminta menahan diri dari menyerukan aksi-aksi bom bunuh diri terhadap Israel. Namun, sesudah kembali memimpin Hamas, Yassin segera menyerukan aksi-aksi serangan terhadap Israel. Ia juga berusaha menjaga hubungan dengan Otoritas Palestina, karena meyakini bahwa benturan antara Hamas dan Otoritas Palestina akan merugikan kepentingan rakyat Palestina.

Israel sudah lama mengincar untuk membunuh Yassin. Pada 6 September 2003, sebuah pesawat tempur F-16 Angkatan Udara Israel menembakkan beberapa rudal ke arah sebuah bangunan di Kota Gaza. Yassin waktu itu sedang berada di gedung tersebut, namun ia selamat, hanya menderita luka. Para pejabat Israel kemudian membenarkan bahwa Yassin adalah sasaran serangan itu.

Yassin akhirnya terbunuh dalam serangan Israel pada 22 Maret 2004, ketika ia sedang didorong dengan kursi roda pada dinihari, untuk sholat subuh di masjid kota Gaza. Sebuah helikopter AH-64 Apache Israel meluncurkan rudal-rudal Hellfire, yang seketika menewaskan Yassin dan dua pengawal pribadinya. Sembilan warga Palestina lain yang berada dekat lokasi itu juga tewas.

Yassin selalu menggunakan rute yang sama setiap pagi, untuk pergi ke masjid yang sama di distrik Sabra, yang jaraknya cuma 100 meter dari rumahnya. Ini membuat operasi pembunuhan Yassin mudah dilakukan oleh militer Israel. Sesudah syahidnya Yassin, wakil Yassin –Abdel Aziz al-Rantisi—menjadi pemimpin Hamas. Sekitar 200.000 warga membanjiri jalan-jalan di Gaza, mengiringi pemakaman Yassin. Otoritas Palestina mengumumkan masa berkabung tiga hari.

Sekjen PBB Kofi Annan mengecam pembunuhan Yassin. Komisi Hak-hak Asasi Manusia PBB juga meloloskan sebuah resolusi, yang mengecam serangan yang menewaskan Yassin. Resolusi itu didukung oleh 31 negara, termasuk China, India, Indonesia, Rusia, dan Afrika Selatan, dengan dua suara menentang dan 18 abstain. Liga Arab dan Uni Afrika juga mengeluarkan kecaman yang sama. ***

Jakarta, 8 Desember 2016
Dikutip dari berbagai sumber.

Sinopsis Buku "Membangun SDM Indonesia Emas" Karya Ivan Taufiza

0
0
Ada satu persoalan besar yang dihadapi Indonesia. Dengan sekian banyak sumber daya alam (SDA) yang dimilikinya, mengapa Indonesia seolah-olah kalah maju dibandingkan dengan negara-negara lain, yang bisa dibilang tak punya banyak SDA, seperti Jepang, Korea Selatan, atau Singapura? Kata kunci untuk menjawab pertanyaan itu adalah sumber daya manusia (SDM).

Buku karya Ivan Taufiza ini ingin memberi kontribusi bagi kemajuan Indonesia dari sisi kunci itu. Yakni, bahwa langkah awal untuk memajukan Indonesia adalah dengan membangun SDM Indonesia yang berkualitas, tangguh, ulet, cerdas, profesional, memiliki kesadaran etika, dan siap berkompetisi dengan bangsa-bangsa lain. Jadi, SDM yang berkualitas “emas”.

Benang merah inilah yang merangkai seluruh tulisan dalam buku ini, yang merupakan kumpulan artikel Ivan, yang terentang dari tahun 2005 sampai 2016. Berbagai artikel itu dipilah ke dalam bab-bab tematik, agar memudahkan pembaca memahaminya. Setiap artikel dilengkapi keterangan tahun penulisannya, agar pembaca memahami konteks situasi dan kondisi bangsa, ketika tulisan itu dibuat.

Meskipun sejumlah artikel itu ditulis pada tahun-tahun sebelumnya, isinya ternyata tetap relevan dengan kondisi yang dihadapi Indonesia sekarang, sehingga sangat patut dibaca. Dalam hal etika, misalnya, menurut Ivan, yang diperlukan sekarang adalah tindakan nyata, bagaimana Pemerintah mampu membuat bangsa Indonesia bersedia bekerja keras, disiplin, serta membangun nilai-nilai moral serta etika, agar mampu bersaing dengan bangsa-bangsa lain.

Bukan hanya itu, di ujung setiap bab, Ivan juga memberikan sejumlah tips praktis yang berguna, bagaimana mengimplementasikan pemikirannya dalam praktik konkret. Misalnya, tips tentang cara terbaik untuk meningkatkan penghasilan sebagai karyawan, yakni amelalui negosiasi total paket kompensasi. Jadi, Ivan tidak bicara di awang-awang, tetapi justru sangat membumi.

Melalui buku ini, Ivan berupaya memberikan beragam alternatif solusi terhadap berbagai permasalahan yang terkait SDM, melalui pemikiran kreatif, terobosan, sekaligus langkah-langkah konkret. Hal itu adalah kontribusi Ivan bagi sebuah kerja besar bersama, membangun SDM Indonesia.

Buku ini sangat bermanfaat bagi para mahasiswa atau dosen dari disiplin keilmuan manajemen dan SDM. Buku ini juga berguna bagi para praktisi HRD di berbagai industri, yang sehari-hari menangani masalah SDM di kantornya. ###

Jakarta, 7 Desember 2016
Satrio Arismunandar

Notes:Buku “Membangun SDM Indonesia Emas” karya pakar SDM Ivan Taufiza itu dijadwalkan diluncurkan pada Kamis, 8 Desember 2016, pukul 11.00-13.00 WIB, di Pipiltin Cocoa (Pintu MacDonald), Toserba Sarinah, Jl. MH Thamrin, Jakarta.

Menciptakan Daerah Tangguh Konflik

0
0
Konflik bernuasa SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan) beberapa minggu terakhir ini kembali mewarnai pemberitaan di media massa kita. Misalnya, pelarangan atau hambatan pelaksanaan ibadah oleh sebuah komunitas agama oleh massa dari komunitas agama yang lain. Alasan formalnya adalah soal tempat, teknis perizinan, dan prosedural, walau esensi masalahnya tampaknya lebih dari sekadar soal teknis. Ini terjadi di Bandung, Jawa Barat.

Bahkan dari komunitas agama yang sama (namun berbeda sekte) juga bisa terjadi konflik, yang berujung ke larangan beribadah, pengusiran dari tempat domisili, bahkan benturan kekerasan. Warga dari sekte yang dianggap menyimpang atau sesat lalu diusir dan jadi pengungsi. Pengungsi ini menjadi urusan pemerintah. Ini terjadi di Sampang, Madura.

Tapi konflik di berbagai daerah bukan terbatas pada isu SARA, tetapi bisa banyak hal lain, seperti: konflik agraria/tanah, ketidakadilan sosial-ekonomi, persaingan politik, dan sebagainya. Salah satu persoalan yang berpotensi menghambat pembangunan adalah konflik-konflik yang berujung pada tindak kekerasan, yang melibatkan warga masyarakat di berbagai daerah. Konflik kekerasan ini menyerap dan menyia-nyiakan energi pemerintah dan publik, sehingga tak bisa fokus dan optimal membangun daerahnya.

Konflik tak bisa selalu dihindari. Selalu ada saja bahan yang menjadi sumber konflik. Maka, yang lebih penting adalah bagaimana cara kita menangani konflik, sehingga konflik itu bisa diselesaikan secara efektif dan tidak berdampak merusak. Yang berbahaya adalah jika konflik-konflik itu berujung ke bentrokan kekerasan yang memakan korban, dan meninggalkan trauma berkepanjangan.

Oleh karena itu, sangat penting untuk menciptakan daerah yang tangguh konflik. Yaitu, bukan berarti menciptakan daerah yang tanpa konflik (suatu yang mustahil), namun menciptakan suatu kondisi di mana konflik-konflik di setiap daerah bisa ditangani sedemikian rupa, sebelum menghasilkan dampak negatif dan kekerasan yang berlebihan. Sementara energi publik yang ada bisa disalurkan ke hal-hal yang lebih produktif dan konstruktif.

Indonesia adalah negara yang sangat plural dan multikultural. Memiliki sekitar 17.000 pulau dan berpenduduk sekitar 255 juta jiwa, Indonesia adalah negara besar yang memiliki banyak suku bangsa (etnis), ras, bahasa, budaya, agama, dan sebagainya. Selain perbedaan-perbedaan yang sifatnya sudah terberikan (given) tersebut, juga terdapat keanekaragaman wilayah dan penduduknya di Indonesia dalam hal kemajuan sosial-ekonomi, politik, pembangunan, infrastruktur, sarana-prasarana, dan sebagainya.

Berbagai perbedaan itu membuka potensi bagi munculnya konflik-konflik di berbagai daerah, yang berangkat dari perbedaan aspirasi dan kepentingan. Konflik itu bervariasi skala keseriusannya, mulai dari friksi sosial biasa sampai menjadi konflik kekerasan berdarah, yang melibatkan berbagai unsur masyarakat.

Terdapat isu-isu strategis terkait dengan konflik tersebut. Isu strategis pertama, konflik yang diwarnai kekerasan serta berdampak serius pada kesejahteraan, ketenteraman, keamanan dan keselamatan masyarakat. Rusaknya harta benda, ancaman hilangnya nyawa, dan dampak-dampak yang tidak langsung terlihat, seperti kerusakan psikologis tiap orang yang terkena.

Isu strategis kedua, konflik-konflik yang diwarnai kekerasan akan menghambat proses pembangunan yang justru sedang mau digalakkan oleh pemerintah. Investor takut berinvestasi di daerah yang dilanda konflik kekerasan, karena merasa investasinya tidak terjamin. Infrastruktur yang rusak atau terganggu akibat konflik juga menghambat pembangunan. Pengembangan ekonomi di berbagai daerah butuh infrastruktur yang kuat dan aman.

Isu strategis ketiga, penanganan konflik yang serius serta proses pembangunan di wilayah-wilayah yang dilanda konflik serius. Hal ini mutlak membutuhkan sosialisasi, komunikasi, koordinasi, kerja sama, dan relasi yang baik antara seluruh pemangku kepentingan yang terkait. Ini melibatkan lembaga di tingkat pusat maupun daerah, juga lintas sektoral.

Tanpa adanya komunikasi, koordinasi, kerjasama, dan berbagai hal tersebut, tidak akan tercipta penanganan konflik yang baik. Dan, dengan demikian, juga tidak terjadi proses pembangunan yang optimal di daerah bersangkutan. Dan kita mengetahui, Indonesia sering lemah dalam masalah koordinasi, kerjasama, komunikasi, antara berbagai pihak terkait tersebut. Entah karena ego sektoral ataupun ego wilayah.

Keterkaitan Antara Isu-isu Strategis

Konflik-konflik yang diwarnai kekerasan, dalam kadar atau derajat yang berbeda-beda, pastilah berdampak negatif pada warga setempat. Dampak itu bisa berupa hilangnya harta benda, keluarga, nyawa, stagnasi atau bahkan kemunduran ekonomi, kemiskinan, dan sebagainya. Konflik sampai tahap tertentu sebetulnya wajar saja dan bisa ditolerir, tetapi konflik kekerasan yang sudah berlebihan pastinya tidak produktif dan bersifat merusak.

Dampak kerusakan yang menjadi keprihatinan adalah tidak berkembangnya, atau lebih tegas lagi tertinggalnya masyarakat dan daerah bersangkutan, dalam derap maju pembangunan nasional. Daerah-daerah yang dilanda konflik serius bisa jauh tertinggal, dibandingkan dengan daerah lain yang relatif bisa meredam dan mengendalikan konflik yang menyangkut warganya.

Untuk menggerakkan, mendorong, dan mendinamisasi pembangunan, dibutuhkan tiga hal. Pertama, kemampuan untuk meredakan atau mengatasi dampak-dampak konflik kekerasan yang sudah terlanjur terjadi. Misalnya, warga yang kehilangan rumahnya, kehilangan sanak keluarganya, kehilangan sumber-sumber nafkah hidupnya, bahkan menderita trauma akibat kekerasan, harus mendapat penanganan yang baik. Karena tanpa partisipasi dan keikutsertaan warga, pembangunan akan sulit dijalankan.

Kedua, penanganan terhadap hambatan-hambatan pembangunan, baik yang bersifat struktural, material, fisik, dan sentimen pasar yang terkait situasi-kondisi dan konteks daerah bersangkutan. Kerusakan infrastruktur akibat konflik kekerasan harus diperbaiki, bahkan ditingkatkan, agar memudahkan investor menanam investasi. Jaminan rasa aman untuk berusaha dan menumbuhkan ekonomi harus ditingkatkan, dan harus senantiasa dijaga.

Penanganan hal pertama, yakni kemampuan menangani dampak-dampak konflik di kalangan warga, akan berpengaruh positif pada hal kedua, yakni berkurangnya hambatan-hambatan pembangunan. Sebaliknya, keberhasilan dalam hal kedua, misalnya mulai masuknya investasi, akan membantu pemerintah dalam mengatasi persoalan dampak konflik yang diderita warga. Kesejahteraan yang tumbuh akibat bergairahnya kehidupan ekonomi ini akan memberi dampak positif pada warga.

Ketiga, peningkatan sosialisasi, koordinasi, kerja sama, konsolidasi, komunikasi, antara berbagai pemangku kepentingan akan mendorong proses yang positif pada hal pertama dan hal kedua, yakni penanganan dampak konflik kekerasan di kalangan warga, dan berkurangnya secara signifikan hambatan-hambatan bagi pembangunan.

Tiga Dimensi Ketangguhan

Dari uraian di atas, terlihat bahwa solusi yang ditawarkan harus bersifat utuh, komprehensif, terpadu, mandiri, dan berkesinambungan. Solusi itu tidak bisa bersifat sepotong-sepotong, sektoral, tetapi harus melibatkan partisipasi seluruh pihak. Sehingga penyelesaiannya nanti bersifat lebih bertahan lama dan tidak mudah digoyahkan.

Dalam konteks dan kriteria yang demikian, perlu diciptakan daerah-daerah tangguh konflik, yakni daerah yang memiliki kemampuan secara mandiri, sistematis, komprehensif dan terpadu dalam meminimalisir potensi dan kejadian konflik, serta memulihkan diri dengan segera dari dampak-dampak konflik yang merugikan.

Ketangguhan dan atau ketahanan daerah dalam menghadapi konflik mencakup tiga dimensi utama, yakni: tata kelola, kapasitas kelembagaan, dan ketahanan komunitas. Ketiganya memiliki keterkaitan dan hubungan timbal balik, dalam mendorong terciptanya ketahanan daerah. Sedangkan ketahanan daerah akan memberi kontribusi bagi terciptanya ketahanan nasional.

Berdasarkan paparan di atas, kita bisa menyusun konsepsi kebijakan, strategi, dan regulasi, untuk penyelesaian masalah. Kebijakan-kebijakan yang perlu disusun adalah:

Pertama, kebijakan yang menyangkut tata kelola pemerintahan. Tata kelola pemerintahan harus baik dan mendukung penanganan konflik. Tata kelola yang baik akan mendorong tingkat partisipasi, perilaku, dan sikap positif dari semua pihak yang terlibat.

Kedua, kebijakan yang menyangkut kapasitas kelembagaan. Kapasitas kelembagaan ini akan menentukan berlangsung fungsi-fungsi koordinasi, konsolidasi, kerja sama, komunikasi, dan sosialisasi, yang menyangkut banyak lembaga.

Ketiga, kebijakan yang menyangkut ketahanan komunitas/masyarakat. Ketahanan masyarakat ini terkait dengan agama, budaya, adat istiadat setempat, tingkat pendidikan, pendapatan ekonomi, kesehatan masyarakat, dan berbagai faktor lain. Jika terjadi konflik antara sesama anggota masyarakat, perlu ada mekanisme interaksi antara mereka untuk penyelesaian konflik.

Strategi dan Regulasi

Sebetulnya sudah ada regulasi atau peraturan perundang-undangan yang terkait dengan masalah-masalah di atas. Artinya, kita tidak perlu mulai dari nol, tapi bisa memulai dengan mengembangkan strategi dan regulasi yang sudah ada. Regulasi itu khususnya adalah Undang-Undang No. 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial di Indonesia.

Intinya perlu dilakukan berbagai upaya untuk meredam potensi konflik yang muncul di masyarakat. Terdapat tiga strategi utama, yakni: 1) Perbaikan sistem tata kelola pemerintahan yang mampu mencegah konflik di tingkat daerah; 2) Peningkatan ketahanan masyarakat itu sendiri terhadap konflik; dan 3) Mendorong berlangsungnya sistem kelembagaan penanganan konflik yang berbasis masyarakat.

Sayangnya tiga strategi utama ini tampaknya belum didukung oleh perangkat kebijakan yang lengkap, baik di tingkat pusat, maupun daerah. Oleh karena itu, kita perlu mendorong segera dilengkapinya perangkat kebijakan bersangkutan. Segala upaya di atas perlu didukung oleh seluruh lapisan masyarakat. Oleh karena itu, dalam proses mendorong pembangunan melalui pelaksanaan tiga strategi utama, masyarakat harus dilibatkan.

Terakhir, pihak media juga harus dilibatkan, agar bisa mendukung terwujudnya tiga strategi utama tersebut, dalam upaya pembangunan di daerah-daerah rawan konflik. Peran media cukup krusial, apalagi dengan makin pesatnya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi. ***

Jakarta, Desember 2016

Pemikiran ini disadur dari konsep-konsep yang dikembangkan di Kemendesa RI.

Hubungan antara Muslim Sunni dan Muslim Syiah di Irak

0
0
Oleh: Satrio Arismunandar

Irak adalah negeri Arab yang eksotis, sekaligus mungkin tidak banyak dimengerti oleh orang Indonesia. Membayangkan Irak adalah membayangkan negeri ajaib dengan kisah-kisah seribu satu malam yang sangat terkenal itu. Negeri dengan kekhalifahan yang megah, Aladin dengan lampu ajaibnya, karpet terbang, jin raksasa yang bisa mengabulkan semua keinginan kita, dan sebagainya. Pada puncak kejayaannya, kekhalifahan Islam dengan ibukotanya di Baghdad menghadirkan puncak kebudayaan, pada masa ketika Amerika masih berupa tanah liar, yang jauh dari kemajuan, dan Eropa masih dilanda zaman kegelapan.

Diperkirakan, jumlah semua penduduk Irak saat ini adalah 36 juta. Mayoritas 75-80 persen penduduk Irak adalah bangsa Arab. Kelompok etnis utama lainnya adalah Kurdi (15-20 persen), Asiria, Turkmen Irak dan lain-lain (5 persen), yang kebanyakan tinggal di utara dan timur laut negeri. Kelompok lainnya adalah orang Persia dan Armenia, kemungkinan mereka keturunan budaya Mesopotamia kuno. Sekitar 25.000–60.000 orang Arab tinggal di daerah berawa di selatan Irak.

Bahasa Arab dan Kurdi adalah bahasa resmi. Bahasa Asiria dan Turkmen adalah bahasa resmi di daerah-daerah yang berturut-turut ditinggali oleh orang Asiria dan Turkmen. Bahasa Armenia dan Persia juga dituturkan, namun jarang. Bahasa Inggris adalah bahasa Barat yang umum dituturkan di Irak. Mayoritas agama yang dianut di Irak adalah Islam, sebesar 97 persen. Sedangkan penganut Kristen atau lainnya ada 3 persen.

Proporsi penganut agama di Irak, tidak ada angka resmi yang tersedia, terutama karena sifatnya yang sangat politis. Menurut sumber Ensiklopedia Britannica, penganut Muslim Syiah 60, dan Sunni 40 persen. Sedangkan menurut sumber CIA World Fact Book: penganut Syiah 60-65 persen, dan Sunni 32-37 persen. Sebagian berpendapat bahwa Sensus Irak 2003 memperlihatkan bahwa orang-orang Sunni sedikit lebih banyak.

Penganut Syiah umumnya adalah orang Arab dengan sebagian Turkmen dan Kurdi Faili, dan hampir semuanya adalah pengikut Syiah aliran Dua Belas Imam. Sedangkan penganut Sunni terdiri dari orang Arab, Turkmen yang menganut Mazhab Hanafi, dan orang Kurdi yang memeluk Mazhab Syafi'i.

Etnis Assyria, kebanyakan daripadanya adalah pemeluk Gereja Katolik Khaldea dan Gereja Assyria di Timur, mewakili sebagian terbesar penduduk Kristen Irak yang cukup besar, bersama dengan orang Armenia. Pemeluk Bahá'í, Mandeanisme, Shabak, dan Yezidi juga ada. Kebanyakan orang Kurdi adalah pemeluk Muslim Sunni, meskipun kaum Kurdi Faili (Feyli) umumnya adalah Syiah.

Dalam milenium yang paling mutakhir, Irak telah dibagi menjadi lima daerah budaya: Kurdi di utara yang berpusat di Erbil, Arab Islam Sunni di wilayah tengah sekitar Baghdad, Arab Islam Syiah di selatan yang berpusat di Basra. Assyria, sekelompok orang Kristen, tinggal di berbagai kota di utara, dan Arab Rawa, sekelompok orang yang berpindah-pindah, tinggal di daerah berawa-rawa di sungai tengah.

Hal yang perlu dicatat khusus adalah hubungan antar-etnis dan antar-agama di Irak. Pemberitaan media Barat secara ekstensif menggambarkan betapa seram dan kerasnya konflik antara Muslim Sunni, Syiah, dan Kurdi, sehingga melahirkan kekerasan berdarah. Seolah-olah Irak sudah diambang keruntuhan besar, untuk pecah menjadi tiga negara, masing-masing dengan komunitas dan pendukungnya sendiri: Muslim Sunni, Syiah, dan Kurdi. Di tingkat elite politik, yang bertarung sengit berebut kekuasaan di pemerintahan dan parlemen, sengitnya konflik di antara mereka mungkin memang masih demikian.

Namun, jika kita melihat hubungan antar warga yang berbeda etnis dan agama di tingkat bawah, tingkat akar rumput, kita akan melihat gambaran yang berbeda. Perbedaan etnis dan agama bagi masyarakat bawah di Irak tampaknya tidak menjadi masalah serius. Rakyat Irak mewarisi peradaban kuno dengan tingkat kebudayaan tinggi yang luar biasa pada zamannya. Negeri Irak ini juga menjadi tempat kediaman dan tempat berseliwerannya orang dari berbagai etnis dan agama, sehingga orang Irak pada dasarnya tidak merasa asing atau canggung dengan keberagaman.

“Perbedaan kepercayaan dan pandangan agama antara Muslim Syiah dan Muslim Sunni tidak pernah menjadi masalah bagi warga Kurdi di Irak. Warga Kurdi bahkan ada yang beragama Kristen dan lain-lain, tetapi mereka hidup rukun satu sama lain,” kata Aram Rasyid Abdullah, warga Kurdi yang tinggal di Erbil, Kurdistan, kepada penulis.

Aram, yang pernah bekerja di Indonesia dan fasih berbahasa Indonesia, bersama Saeful Anwar, asisten pribadi Dubes Safzen Noerdin, menjemput penulis ketika pesawat Emirates yang penulis tumpangi mendarat di bandara internasional Erbil, 19 Maret 2015. Aram sudah sering membantu tugas KBRI, sebelum akhirnya resmi diangkat menjadi staf lokal KBRI Baghdad.

Warga Kurdi yang berbeda-beda kepercayaan kini hidup terpisah dan tercerai berai di wilayah Suriah, Iran, Irak, dan Turki, serta beberapa wilayah lain. Meski jumlah orang Kurdi ada puluhan juta, mereka tidak memiliki negara sendiri. Nasib orang Kurdi mirip orang Palestina, yang kini masih berjuang melawan penjajahan Israel untuk bisa memiliki negara sendiri, sedangkan banyak warganya terpaksa tinggal di kamp pengungsian di berbagai negara tetangga atau diaspora.

Warga Kurdi memang memiliki rasa toleransi yang tinggi. Aram sendiri mengaku, ia sudah menikah dengan seorang perempuan Indonesia keturunan campuran Tionghoa-Betawi, yang masuk Islam dan bersedia dibawa oleh Aram untuk tinggal di Erbil. Aram banyak membantu KBRI Baghdad dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi para tenaga kerja wanita (TKW) asal Indonesia di wilayah Kurdistan.

Aram adalah nama yang umum di kalangan orang Kurdi dan ada banyak “Aram” di Erbil. “Namun karena banyak mengurusi orang Indonesia, itulah sebabnya saya populer dengan sebutan Aram Indunesi (Aram Indonesia) di kalangan petugas di sini,” ujar Aram dengan bangga.

Kembali ke soal hubungan antara Muslim Sunni dan Syiah, menurut para warga Irak kalangan bawah dan diplomat yang ditemui penulis, pertentangan Muslim Sunni dan Syiah di Irak sebetulnya lebih banyak merupakan komoditi dan kepentingan para elite politik. Jika dilihat pada kehidupan sehari-hari warga Sunni dan Syiah, mereka biasa hidup bertetangga dengan baik, tidak bermusuhan satu sama lain.

“Tetangga yang tinggal di kiri-kanan saya adalah orang Sunni, tetapi ya kami bertahun-tahun hidup bertetangga biasa saja. Kalau soal konflik yang diramaikan di media, itu soal politik, Pak,” ujar Muayad Abbood Abbas, warga Syiah Irak yang bekerja sebagai sopir KBRI Baghdad.

Maka, jika saat penulis menyusun buku ini di Indonesia ada “gerakan anti-Syiah” atau kalangan yang gencar mengkampanyekan Syiah dengan “kafir” atau “bukan Islam,” itu sesuatu yang asing bagi komunitas Muslim di Irak. Pertarungan antara elite politik Sunni dan Syiah di Irak adalah lebih merupakan pertarungan politik, bukan pertarungan agama. Maka bisa saja sebuah partai Syiah berkoalisi dengan partai Sunni, untuk mendongkel kekuasaan Perdana Menteri yang juga orang Syiah.

Para diplomat Indonesia –yang kebetulan penganut Sunni-- memberi contoh, warga Sunni bisa sholat di masjid Syiah di Irak dan diterima baik. Tidak ada masalah. Sebaliknya orang Syiah juga bisa sholat di masjid Sunni, dan juga tidak dipersoalkan. Penulis sendiri yang bukan penganut Syiah sudah berkali-kali sholat di masjid-masjid Syiah di Irak, dan tidak menghadapi problem apapun. Warga Muslim Irak di dalam masjid biasanya tidak terlalu peduli dengan cara beribadah Muslim lain.

“Mungkin semula kita membayangkan, akan ada masalah. Soalnya orang Syiah kalau sholat kan menggunakan keping tanah dari Karbala untuk tempat sujud. Tetapi ketika mereka menggunakan ritual itu di masjid Sunni, saya lihat jamaah Sunni yang ada di masjid juga cuek saja. Artinya, hal itu tidak dipersoalkan,” ujar seorang diplomat.

Di KBRI Baghdad, jika diadakan ibadah sholat Jumat, terkadang Muayad Abbood Abbas yang penganut Syiah juga ikut sholat. Kalau ditanyakan, mengapa ikut sholat Jumat bersama staf KBRI Baghdad yang semuanya Sunni, dia malah tersinggung. “Memangnya kenapa?” tanyanya. Tetapi sebagaimana di Indonesia yang mengenal istilah “Islam KTP” (baca: Muslim Sunni yang tidak menjalankan ibadah sholat secara tertib dan berkelanjutan), di Irak juga tidak semua penganut Syiah rajin sholat.

Di lingkungan kerja KBRI Baghdad, misalnya, berbeda dengan Muayad Abbood Abbas yang masih sholat, ada orang lokal Syiah lain yang tidak pernah terlihat sholat. Maka untuk mereka mungkin bisa juga dibuat istilah “Syiah KTP.” Keanekaragaman Syiah semacam ini juga sering kurang dipahami oleh sejumlah kalangan di Indonesia yang getol mengkampanyekan “Syiah itu bukan Islam.”

Ada analisis yang menyatakan bahwa gencarnya isu pertentangan antara Muslim Sunni versus Syiah di Indonesia mungkin tak bisa dipisahkan dari persaingan antara Arab Saudi dan Iran, dalam memperebutkan pengaruh politik di kawasan Timur Tengah. Demikian dikatakan oleh seorang diplomat asing, yang kebetulan penganut Muslim Sunni, kepada penulis.

“Kita tahu bahwa persaingan pengaruh atau politik ini melibatkan aliran dana yang lumayan besar ke para pelaksana di bawah, yang akan mengeksekusi program-program titipan dari donatur,” tambah diplomat tersebut. Ia mengingatkan bahwa di Indonesia pernah ada aliran dana dari Libya untuk kelompok Muslim tertentu di Indonesia. Namun, sejak tewasnya pemimpin Libya Moammar Khadafi, aliran dana dari Libya berhenti.

Sejumlah diplomat di Irak menyatakan keprihatinan terhadap isu-isu yang dianggap berpotensi memecah belah umat Islam di Indonesia, sebagai negara Muslim terbesar, karena isu-isu sektarian serupa sudah menimbulkan kerusakan besar di negara-negara Muslim di Timur Tengah.

Pernikahan antara warga Muslim Syiah dan Sunni adalah juga hal yang biasa saja di Irak. Hal itu sudah berlangsung puluhan tahun, dan masih terus berlangsung sampai sekarang. Bagi masyarakat awam di Irak, perbedaan Sunni dan Syiah tidak pernah menjadi isu serius. “Kalau dibandingkan dengan konteks Indonesia, pernikahan antara warga Sunni dan Syiah di Irak kira-kira sama dengan pernikahan antara warga Nahdlatul Ulama dengan warga Muhammadiyah, atau dengan warga Persis,” ujar Besus Hidayat Jati, staf di KBRI Baghdad yang menganut Sunni, dan lulusan jurusan teologi Universitas Al-Azhar, Mesir.

“Sesudah menikah, masing-masing ya tetap dengan kepercayaannya. Kalau mau jujur, warga Syiah di sini sebetulnya umumnya tidak sangat ketat dalam masalah agama, dan tidak terlalu peduli dengan isu-isu perbedaan agama. Ya, kalau ditempatkan dalam konteks Indonesia, Islam KTP-lah! ” tambahnya.

Saeful Anwar, Sekretaris Pribadi Dubes Safzen, punya cerita unik tentang hubungan Syiah-Sunni di Irak. “Kita sering membaca berita di koran, tentang pernikahan warga Sunni dan Syiah. Nah, pernah ada berita tentang terbunuhnya anggota parlemen yang Sunni. Lalu ada tokoh Sunni yang bersuara lantang. Ia bilang, akan membalas perbuatan ini seperti mereka (Syiah) lakukan terhadap Sunni. Karena omong kerasnya, dia pun diusut. Ternyata istri tokoh Sunni ini adalah penganut Syiah!” jelas Saeful.

Saeful masih punya cerita lain. Suatu ketika, rombongan KBRI yang membawa delegasi dari Indonesia berkunjung ke Karbala dan Najaf, kota suci syiah di Irak selatan. Sesuai prosedur, rombongan Indonesia ini dikawal oleh protokol Kementerian Luar Negeri Irak. Di antara staf Kemlu Irak ini ada yang penganut Syiah, dan ada juga yang Sunni. Terus ketika tiba waktu sholat, para staf protokol Kemlu Irak ini sholat lebih dulu. Mereka mengantisipasi kesibukan, jika nanti harus mengantar rombongan KBRI ke mana-mana. Mereka sholat di satu ruangan. “Ada yang ritual sholatnya Syiah, ada juga yang ritualnya Sunni. Ternyata mereka akur tuh,” ujar Saeful sambil tertawa.

Dalam soal ibadah, hubungan warga Syiah dan Sunni tidak sekaku yang mungkin dibayangkan orang di Indonesia. Saeful, yang pengikut tarekat Qadiriyah dengan mempraktikkan ajaran Syekh Abdul Qadir Jaelani, menceritakan penghormatan orang Syiah terhadap tokoh sufi, yang penganut Sunni dan makamnya terdapat di Baghdad tersebut.

“Saya pernah sholat Jumat di masjid Syekh Abdul Qadir Jaelani. Ternyata, ada tokoh Syiah terkemuka Moqtada Al-Sadr dan para pengikutnya yang hadir ikut sholat Jumat. Jadi dalam sholat Jumat itu hadir bersama warga Sunni dan warga Syiah. Saya perkirakan, 30 persen jamaah yang sholat di masjid Syekh waktu itu adalah penganut Syiah,” ungkap Saeful.

Dalam masalah pertarungan politik di parlemen dan pemerintahan Irak, isu Sunni dan Syiah ini sempat mengemuka. Namun, persaingan itu pun sebetulnya longgar. Buktinya, ada kelompok Syiah yang berkoalisi dengan kelompok Sunni, dan keduanya sama-sama menentang pemerintahan yang dipimpin oleh Perdana Menteri yang Syiah. Sementara perpecahan dan persaingan di antara sesama kelompok Syiah sendiri juga cukup keras.

Begitu banyak aliran Muslim Syiah di Timur Tengah, bahkan beberapa di antara mereka saling bertentangan secara keras. Tak heran jika hal ini kadang-kadang membingungkan buat para pengamat, untuk menentukan yang mana dari sekian aliran itu yang betul-betul merepresentasikan Muslim Syiah. Demikian dinyatakan beberapa diplomat Indonesia sehabis KBRI Baghdad menerima kunjungan Direktur Lembaga Darul Quran, Syekh Hasan Mansouri. Syekh yang juga salah satu tokoh Syiah di Karbala ini melakukan kunjungan silaturahim ke Dubes Safzen Nourdin, pada 3 Maret 2015.

“Muslim Syiah yang benar adalah mereka yang mengikuti ajaran Imam Ali. Sedangkan Imam Ali mengatakan, beliau tidak menghendaki para pengikutnya menjadi tukang mencela dan mencaci. Termasuk di sini mencela dan mencaci para sahabat Nabi Muhammad SAW yang lain,” ujar Syekh Hasan Mansouri, menjawab pertanyaan penulis.

Syekh yang memimpin lembaga penghafal Al-Quran ini menyatakan, dalam menilai ajaran Muslim Syiah harus hati-hati memilah siapa yang jadi standar penilaian. Diakuinya, memang ada umat Syiah yang berbicara sumbang dan suka mencela sahabat Nabi. Namun tindakan mereka tidak sesuai dengan ajaran Imam Ali, atau Ali bin Abi Thalib dalam tradisi Muslim Sunni. Syekh Hasan Mansouri, yang pernah berkunjung ke Indonesia, berharap, “Yang dijadikan rujukan sebaiknya adalah ulama-ulama Syiah yang moderat, yang menjadi pembimbing masyarakat Syiah.”

Dalam upaya mewujudkan ukhuwah Islamiyah, Syekh Hasan Mansouri mengatakan, pihaknya menyelenggarakan berbagai kegiatan dakwah lewat hafalan Al-Quran, yang melibatkan kelompok-kelompok di luar Muslim Syiah. “Sejauh ini, pihak-pihak itu menerima kami dengan baik dan menghargai kami,” lanjutnya.

Sedangkan menurut Achmad Alatas, penerjemah bahasa Arab bersertifikat di KBRI Baghdad, penganut Syiah di Timur Tengah itu ada banyak sekali macamnya, dan hal ini tampaknya kurang dipahami di Indonesia. Karena kurangnya wawasan, semua penganut Syiah dipukul rata dan dianggap sama saja. Achmad, yang sudah berpengalaman berpindah-pindah tempat tugas di negara-negara Arab ini menyatakan, contoh keragaman Syiah adalah warga Houthi di Yaman.

Saat buku ini disusun, warga Houthi baru saja merebut kekuasaan di Yaman, negeri tetangga Arab Saudi. Mereka adalah penganut Syiah, tetapi cara mereka sholat tidak seperti Syiah di Irak, yang memakai kepingan tanah Karbala untuk tempat meletakkan dahi ketika sujud. Kalau melakukan adzan untuk sholat, mereka tidak menyebut “Ali Waliyullah.” Mereka juga tetap menghormati Abubakar, Umar, dan Utsman sebagai para sahabat Nabi Muhammad SAW dan khalifah sebelum Ali. Jadi meski mereka penganut Syiah, tapi pandangan mereka dan cara beribadahnya sangat mirip Sunni.

Suku Houthi di Yaman adalah penganut Muslim Syiah dari sekte Zaidiyah. Aliran Zaidiyah sendiri muncul dari pengikut Syiah di abad ke-8. Sebutan Zaidiyah berasal dari nama Zaid ibn Ali, cucu Hussein ibn Ali bin Abi Thalib. Pengikut Syiah Zaidi memiliki pendekatan yang unik terhadap pemikiran Islam Syiah. Hukum Islam yang dianut Syiah Zaidi mirip mazhab Hanafi di kalangan Muslim Sunni. Imam Abu Hanifah, pendiri mazhab Hanafi yang beraliran Sunni, bahkan bersikap simpatik pada Syiah Zaidi dan pernah mendorong kalangan Muslim agar memberi sumbangan pada perjuangan mereka.

Berbeda dengan aliran Syiah lainnya, Syiah Zaidi tidak mempercayai doktrin bahwa seluruh imam-imam sesudah Imam Hussein suci dari dosa. Pengikut Syiah Zaidi juga tidak pernah mencerca Abu Bakar, Umar bin Khattab, dan Utsman bin Affan, khalifah-khalifah pertama yang dihormati Muslim Sunni sebelum Ali bin Abi Thalib menjadi khalifah. Dari seluruh aliran Syiah, Syiah Zaidi adalah yang paling moderat dan mirip dengan Sunni, baik dari segi doktrin ajaran maupun penafsiran hukum Islam.

Selain yang moderat, ada juga penganut Syiah yang ekstrem, Bahkan ada kelompok Syiah, seperti Syekh Mujtaba al-Shirazi, yang menganggap pimpinan Hizbullah –kelompok Muslim Syiah lain di Lebanon—sebagai kafir. Mujtaba al-Shirazi yang kini berbasis di London, Inggris, bahkan menyamakan pemimpin Syiah Iran, Ayatullah Ali Khamenei, dengan Yazid. Ini serangan yang sangat kasar, karena Yazid bin Muawiyah adalah khalifah yang memusuhi Hussein dan terlibat pembunuhan terhadap Hussein, putra Ali bin Abi Thalib dan cucu Nabi Muhammad SAW.

Kerukunan antara penganut Muslim Sunni dan Syiah di Irak bukan baru saja terjadi, tetapi sudah berlangsung lama. Bahkan di zaman pemerintahan Presiden Saddam Hussein, yang melakukan represi terhadap penganut Syiah, justru warga Sunni yang melindungi warga Syiah dalam melakukan ritual keagamaannya dari kejaran militer Saddam.

“Saddam Hussein ketika berkuasa melarang semua perayaan hari keagamaan Syiah. Warga Syiah di Baghdad dilarang berziarah ke Karbala, kota suci Syiah. Yang ketahuan melanggar akan langsung ditembak mati oleh aparat Saddam. Saddam juga menempatkan suku-suku Sunni yang disuruh tinggal di sekitar kota Baghdad, sehingga Saddam merasa aman,” ujar Achmad Alatas.

Namun warga Syiah di Baghdad secara diam-diam, dengan berjalan kaki lewat jalan-jalan kampung dan menghindari jalan raya, tetap berusaha berangkat ke Karbala, yang terletak ratusan kilometer di selatan Baghdad. Dalam perjalanan jauh dengan jalan kaki itulah, warga Syiah harus lewat, mampir, bahkan menginap dan bermalam di kampung-kampung warga Sunni. Warga Sunni mengetahui hal ini, tetapi justru merekalah yang melindungi dan menyelamatkan warga Syiah dari kejaran aparat keamanan.

“Bahkan Walikota Karbala yang penganut Sunni, waktu itu berani menentang perintah Saddam, dengan membiarkan warga Syiah yang ditemuinya untuk berziarah dan melakukan ritual keagamaan di Karbala. Itulah sebabnya, ketika Saddam Hussein jatuh dan mantan walikota itu mau dihukum mati karena dianggap pejabatnya Saddam, justru warga Syiah Karbala yang memohon pada pemerintah agar mantan walikota Sunni itu dibebaskan dari hukuman mati. Hal-hal semacam inilah yang umat Islam di Indonesia, yang kini ribut soal konflik Sunni-Syiah, tidak banyak tahu,” tutur Alatas.

Jakarta, Desember 2016

Tulisan ini adalah kutipan dari buku "Hari-hari Rawan di Irak," karya Dr. Satrio Arismunandar, yang merupakan hasil dari perjalanan jurnalistik di Irak pada 2015 dan 2016.

Maryam Jameelah: Pembela Konservatisme Islam

0
0
Oleh: Satrio Arismunandar

Maryam Jameelah adalah tokoh intelektual dan penulis dari sekitar 30 buku tentang agama, sejarah, dan budaya Islam. Ia adalah sosok Muslimah yang menjadi penyuara pandangan konservatif Islam, dan terkenal lewat karya-karyanya yang sangat kritis terhadap budaya Barat.

Maryam aslinya beretnis Yahudi. Ia lahir dengan nama Margareth Marcus pada 23 Mei 1934 dan dibesarkan di lingkungan multietnis New Rochelle, New York, Amerika Serikat. Orang tuanya adalah Yahudi asal Jerman. Ia berasal dari keluarga Yahudi yang tidak terlalu ketat dalam soal agama. “Keluarga kami telah tinggal di Jerman selama empat generasi dan kemudian berasimilasi ke Amerika,” papar Maryam, dalam bukunya “Islam and Orientalism.”

Sebagai anak, Margareth secara psikologis dan sosial merasa kurang serasi dengan lingkungan sekitarnya. Ibunya menyebut Magareth sebagai anak yang cerdas, sangat cerdas, namun juga “sangat penggugup, sensitif, mudah tersinggung, dan penuntut.”

Bahkan ketika di sekolah, ia tertarik dengan budaya dan sejarah Asia, khususnya Arab. Ia menentang dukungan terhadap Israel dari orang-orang yang ada di lingkungan sekitarnya. Secara umum, ia bersimpati pada penderitaan orang Arab dan Palestina, yang terusir dari tanahnya yang direbut kaum Zionis Yahudi, dan jadi lalu jadi pengungsi.

Margareth kecil sangat menyukai musik, terutama simfoni dan klasik. Prestasinya pada mata pelajaran musik pun cukup membanggakan, karena selalu mendapatkan nilai tertinggi di kelas. Hingga suatu hari dia mendengarkan musik Arab di radio, dan langsung jatuh hati. Kian hari dirinya makin menyukai jenis musik ini. Margareth pun tak sungkan meminta kepada ibunya agar dibelikan rekaman musik Arab di sebuah toko milik imigran Suriah.

Sampai akhirnya, dia mendengar tilawah Al-Quran dari sebuah masjid yang berada tak jauh dari tempat tinggalnya di kota New York. Margareth merasa ada kemiripan bahasa antara musik Arab dan Al-Quran tadi. Namun, yang didengarnya di masjid jauh lebih merdu. Sehingga, demi untuk menikmati keindahan lantunan ayat-ayat Al-Quran itu, Margareth kecil rela menghabiskan waktu untuk duduk di depan masjid.

Ketika beranjak dewasa, barulah Margareth mengetahui bahwa pelantun irama yang merdu dan telah membuainya semenjak kecil, adalah pemeluk agama Islam. Sedikit demi sedikit, ia lantas berusaha mencari informasi tentang Islam, tanpa pretensi apapun terhadap agama ini.

Sejak usia belasan tahun, Margareth sudah mempelajari Yudaisme dan kepercayaan-kepercayaan lain. Ia masuk Universitas Rochester sesudah lulus SMA, namun harus mundur sebelum sempat kuliah karena problem-problem psikiatrik.

Pada musim semi 1953, ia masuk Universitas New York. Di sana, ia mempelajari Yudaisme Reformasi, Yudaisme Ortodoks, Budaya Etika, dan kepercayaan Baha’i. Namun, ia menganggap semua ajaran itu tidak memuaskan, khususnya karena dukungan mereka terhadap Zionisme.

Pada musim panas 1953, ia kembali mengalami gangguan mental, dan jatuh ke kondisi keputusasaan dan kelelahan mental. Dalam periode inilah, ia kembali ke studi Islam dan membaca kitab Al-Quran. Ia juga membaca dua buku karya Mohammad Assad, yakni The Road to Mecca dan Islam at Crossroad.

Korespondensi dengan Mawdudi

Di Universitas New York, ia mengambil kuliah Judaism in Islam tentang pengaruh Yudaisme terhadap Islam, karena ingin mempelajari Islam secara formal. Kuliah itu diberikan oleh Rabbi dan ilmuwan Yahudi, Abraham Katsch. Ironisnya, kuliah yang menempatkan Islam sebagai agama yang inferior terhadap Yahudi itu justru memperkuat ketertarikan Margareth terhadap Islam.

Pada setiap perkuliahan, sang dosen kerap menjelaskan bahwa Islam merupakan agama yang diadopsi dari agama Yahudi. Segala yang baik dalam Islam pada dasarnya berasal dari kitab Perjanjian Lama, Talmud dan Midrash. Tak jarang pula diputar film-film tentang propaganda Yahudi. Intinya, yang dipaparkan di ruang kuliah sering kali menunjukkan inferioritas Islam dan umat Muslim.

Margareth tidak begitu saja menelan indoktrinasi ini. Dia merasa ada yang aneh dengan segala penjelasan tadi karena terkesan menyudutkan. Dirinya merasa tertantang untuk membuktikan bahwa segala yang diterimanya di perkuliahan ini lebih bernuansa kebencian kepada Islam.
Margareth menyediakan waktu, pikiran dan tenaga yang cukup panjang untuk mempelajari Islam secara mendalam, sekaligus membandingkannya dengan ajaran Yahudi. Dia kemudian justru banyak melihat kekeliruan dalam agama Yahudi, sebaliknya menemukan kebenaran pada Islam.

Bagaimanapun, kondisi kesehatan Margareth terus memburuk dan dia drop out dari universitas pada 1956, sebelum kelulusan. Pada 1957-1959, ia dirawat di rumah sakit karena skizofrenia. Sekembali ke rumahnya di White Plains pada 1959, Margareth melibatkan diri pada berbagai organisasi Islam, dan mulai berkorespondensi dengan pemimpin Muslim di luar Amerika. Khususnya dengan Maulana Abul A’la al-Mawdudi, tokoh ulama dan pemimpin Jamaat-e-Islami (Masyarakat Islam) di Pakistan.

Hasil penelaahan Margareth dicurahkan dalam suratnya kepada Mawdudi. Ia menulis, “Pada kitab Perjanjian Lama memang terdapat konsep-konsep universal tentang Tuhan dan moral luhur seperti diajarkan para nabi. Namun, agama Yahudi selalu mempertahankan karakter kesukuan dan kebangsaan. Sebagian besar pemimpin Yahudi memandang Tuhan sebagai agen real estate yang membagi-bagikan lahan untuk keuntungan sendiri. Maka, walau perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi Israel sangat pesat, namun kemajuan material yang dikombinasikan dengan moralitas kesukuan ini adalah suatu ancaman bagi perdamaian dunia.”

Pada 24 Mei 1961, ia masuk Islam dan mengganti namanya dengan Maryam Jameelah. Keputusan beralih menjadi Muslimah pada 1961, diakuinya kemudian, juga turut dipengaruhi oleh kekagumannya pada dua buku karya Mohammad Assad. Buku-buku Assad inilah yang memperbarui perjalanan batinnya dan akhirnya mendorong Margareth untuk pindah kepercayaan, dari Yudaisme (Yahudi) ke Islam, ketika berusia 19 tahun.

Sesudah menerima undangan dari Maulana Mawdudi, ia berimigrasi ke Pakistan pada 1962, di mana ia awalnya tinggal bersama keluarga Mawdudi. Pada 1963, ia menikah dengan Muhammad Yusuf Khan, seorang anggota Jamaat-e-Islami, dan menjadi istri kedua. Ia tinggal di kota Lahore. Dari pernikahan ini, Maryam melahirkan lima anak: dua laki-laki dan tiga perempuan (anak perempuannya yang tertua meninggal pada usia dini).

Maryam memandang tahun 1962-1964 sebagai periode pembentukan kehidupannya. Ia menjadi makin matang dan memulai karya kehidupannya sebagai tokoh Muslimah konservatif, yang membela budaya dan nilai-nilai tradisional Islam.

Kritis terhadap Dunia Barat

Maryam sangat kritis terhadap sekulerisme, materialisme, dan modernisasi, baik di masyarakat Barat maupun di masyarakat Islam. Ia menganggap tradisi seperti hijab, poligami, dan segregasi gender (purdah) diperintahkan oleh Quran dan hadis Nabi, dan memandang gerakan-gerakan untuk mengubah tradisi itu sebagai pengkhianatan terhadap ajaran-ajaran Islam.

Salah satu hal yang patut dicatat dari pemikiran Maryam Jameelah, adalah keyakinannya terhadap agama Islam, yang dinilainya sebagai agama terbaik. Islam merupakan agama dengan keunggulan paripurna, sehingga merupakan satu-satunya jalan untuk menuju kehidupan lebih baik di dunia maupun akhirat.

Melalui karyanya, Maryam ingin menyebarkan keyakinannya itu kepada segenap umat Muslim di seluruh dunia. Harapannya adalah agar umat semakin percaya diri untuk dapat mendayagunakan keunggulan-keunggulan agama Islam tersebut, demi meraih kejayaan di berbagai bidang kehidupan.

Sejak menetap di Pakistan, Maryam menghasilkan sejumlah karya yang berpengaruh, termasuk dalam menerjemahkan ideologi Jamaat-e-Islami dengan bahasa yang sistematis sehingga diterima secara luas. Meski tidak secara formal terlibat dalam partai itu, Maryam adalah salah satu pembela paling gigih terhadap paham dan ideologi Jamaat-e-Islami.

Buku-buku Maryam Jameelah telah diterjemahkan ke berbagai bahasa, termasuk Urdu, Persia, Turki, Bengali, dan bahasa Indonesia. Buku-buku karya Maryam Jameelah, antara lain: Ahmad Khalil: The Biography of a Palestinian Arab Refugee; Islam and Modernism; Islam and Orientalism; Islam and the Muslim Woman Today; Islam versus the West; Islamic Culture in Theory and Practice; Islam Face to Face with the Current Crisis; Is Western Civilization Universal?; Modern Technology and the Dehumanization of Man; The Holy Prophet and His Impact on My Life; Westernization and Human Welfare; Western Imperialism Menaces Muslims; dan Why I Embraced Islam.

Karya yang sudah diterjemahkan ke Bahasa Indonesia, di antaranya: Surat Menyurat Maryam Jameela dengan Maududi (Mizan: 1984); Islam Dalam Kancah Modernisasi (Risalah: 1985), Menjemput Islam (Al-Bayan: 1992); Islam dan Orientalisme (Raja Grafindo Persada, 1997) dan The Convert: A Tale of Exile and Extremism (2011), yang kemudian diterbitkan oleh Zaytuna tahun 2012 dengan judul “Keluargaku Yahudi, Hidupku Untuk Islam.”

Korespondensi (surat-menyurat), manuskrip, bibliografi, kronologi, ceramah, kuesioner, artikel--artikel yang sudah diterbitkan, foto, kaset video, dan karya seni dari Maryam Jameelah, semuanya dimasukkan ke koleksi Humanities and Social Sciences Library, Perpustakaan Umum New York. Kehidupan Maryam juga menjadi topik karya penulis biografi Deborah Baker (The Convert: A Tale of Exile and Extremism, Deborah Baker, Macmillan, 2011). Maryam Jameelah meninggal dunia pada 31 Oktober 2012 di Lahore.

Jakarta, Desember 2016
Ditulis untuk www.Aktual.com, dan dirangkum dari berbagai sumber

Iko Uwais, Aktor Laga yang Mendunia Lewat Silat

0
0
Oleh: Satrio Arismunandar

Bagi penggemar film laga, nama Iko Uwais sudah tak asing lagi. Berbekal keahlian pencak silatnya, aktor sekaligus koreografer atau penata laku adegan laga ini bukan bukan cuma tenar di skala nasional, tetapi sudah mendunia. Ini antara lain berkat kesuksesan film “Merantau” dan “The Raid” yang dibintanginya.

Uwais Qorny, atau lebih dikenal sebagai Iko Uwais, lahir di Jakarta, 12 Februari 1983. Pada usia 33 tahun, bintangnya sudah melejit sebagai aktor, koreografer film, dan atlet pencak silat Indonesia. Ia memulai debutnya di dunia perfilman ketika memerankan Yuda, seorang perantauan Minangkabau dalam film “Merantau” (2009).

Dibesarkan di lingkungan Betawi, sejak berusia 10 tahun Iko sudah belajar seni bela diri tradisional Indonesia, pencak silat. Ia belajar di perguruan asuhan pamannya, Tiga Berantai, yang beraliran silat Betawi. Pada 2003, Iko meraih posisi ketiga pada turnamen pencak silat tingkat DKI Jakarta. Pada 2005, ia menjadi pesilat terbaik dalam kategori demonstrasi pada Kejuaraan Silat Nasional.

Iko juga aktif bermain sepak bola. dan sempat menjadi gelandang dalam Liga-B klub sepakbola Indonesia. Namun, Iko menghentikan impiannya menjadi bintang sepak bola, setelah klub yang menaunginya bangkrut. Keterampilan silatnya memberi Iko kesempatan untuk bepergian ke luar negeri dalam beberapa peragaan pencak silat di Inggris, Rusia, Laos, Kamboja, dan Prancis.

Ditemukan Gareth Evans

Pada 2007, bakat silat Iko ditemukan oleh sutradara film Wales, Gareth Evans, yang sedang melaksanakan syuting film dokumenter tentang silat di sekolah silat Iko. Mereka bertemu di perguruan Tiga Berantai di daerah Kayu Manis, Matraman, Jakarta Timur, yang didirikan oleh kakek Iko. Iko ditempa oleh paman yang juga gurunya, yaitu Hj Ahmad Bunawar. Iko tak hanya belajar pencak siat Betawi, tapi terbuka pada beragam jenis bela diri.

“Saya bersyukur punya guru besar di perguruan itu. Menggerakkan sesuatu yang baru bukan sesuatu yang awam buat kita. Tidak belajar dari nol. Sudah kenal gerakannya. Sebagai action koreografer di sebuah film, kita menggabungkan beragam aliran. Kita cari referensi dari nonton film action. Fleksibel, enggak menutup diri. Kita ambil, kita sharing. Perbendaharaan harus kaya,”ujar Iko tentang proses koreografi laga di sebuah film.

Karisma alami Iko dan kehadiran alaminya yang besar di depan kamera mendorong Evans untuk menjadikannya peran utama untuk film laga pertamanya, “Merantau.” Setelah menandatangani kontrak lima tahun dengan Evans dan rumah produksinya, Iko mengundurkan diri dari pekerjaan kesehariannya, sebagai sopir truk sebuah perusahaan telekomunikasi.

Di film pertamanya “Merantau,” Iko berperan sebagai seorang pemuda Minang dari Sumatera Barat, di mana dia mempelajari Silat Harimau khas Minang dari guru silat, Edwel Yusri Datuk Rajo Gampo Alam. "Merantau" dirilis di Indonesia pada 6 Agustus 2009. Film ini ditampilkan dalam Puchon International Fantastic Film Festival di Puchon, Korea Selatan dan Fantastic Fest di Austin, Texas, dengan ulasan yang sangat positif. “Merantau” memenangkan penghargaan Film Terbaik di Action Fest 2010.

Kolaborasi kedua Iko dengan Evans adalah di film “The Raid” (kemudian dirilis dengan judul internasional "The Raid: Redemption"), yang dirilis secara internasional pada 22 Maret 2012 di Australia dan Selandia Baru; 23 Maret 2012 di Indonesia dan Amerika Utara, dan 18 Mei 2012 di Inggris. Film ini semakin melambungkan nama Iko, setelah ditanggapi oleh kritikus dan penonton di berbagai festival sebagai salah satu film seni bela diri terbaik setelah periode bertahun-tahun. Di film ini Iko juga menjadi koreografer bersama rekan sesama aktor, pesilat Yayan Ruhian.

Film ketiga dari aktor berdarah Minang ini, yang disutradarai Evans, diberi judul "Berandal" (internasional, "The Raid: Retaliation"). Sekuel The Raid ini syuting pada 2013, dan dirilis pada 2014.

Harus Masuk Akal

Setidaknya butuh tiga bulan untuk menyiapkan koreografi dari sebuah aksi film laga. Sebagai aktor dan koreografer, Iko mengaku dirinya sangat perfeksionis. Dia ingin adegan-adegan laga yang dimunculkan itu logis.”Apa yang saya perankan harus masuk dalam logika. Saya mau semua gerakan masuk akal dan manusiawi,” ujarnya, dalam wawancara dengan Kompas (18 Desember 2016).

Demi gerakan yang masuk akal itu pula, jangan berharap ada adegan terbang atau loncat yang berlebihan di setiap film yang ditata laganya oleh Iko. Untuk koreografi laga ini, Iko dibantu oleh Uwais Tim yang terdiri dari belasan petarung. Mereka membuat koreografi aksi dengan menerapkan seni beladiri yang dipelajari di perguruan. Bersama timnya, Iko berusaha menunjukkan gerakan tangkisan, pukulan, hingga finishing yang berbeda untuk setiap babak.

Iko juga berusaha mengenali karakter beladiri dari masing-masing aktor, sebelum menerapkan dalam koreografinya. Tidak mungkin memaksakan gerakan pencak silat untuk aktor yang punya dasar bela diri wushu, misalnya. Seperti bermain game, setiap level akan berbeda, dan emosinya juga berbeda. Iko harus memikirkan emosi, situasi, dan kondisi. Dari segi gerak, seperti berdialog dengan lawan main. “Menciptakan gerakan sama seperti berdialog dengan fighter yang lain,” ujarnya.

Dialog gerak ini semakin penting karena hampir semua film laga yang dibintangi Iko telah menembus pasar internasional dan banyak ditonton oleh ahli beladiri dunia. Salah satu yang menginspirasi Iko adalah dialog gerak yang disuguhkan dalam film-film Jackie Chan. Ketika dikeroyok banyak lawan, semua lawan Jackie Chan aktif bergerak tanpa saling menunggu. Tidak terlihat diatur, seperti benar-benar dikeroyok.

Prestasi dan Filmografi


Di ajang pencak silat, Iko pernah mengukir prestasi sebagai Juara III, Kejuaraan Daerah Antar Perguruan Sikat se-DKI Jakarta (2003), dan sebagai Penampilan Terbaik Kategori Dewasa Tunggal pada Festival Pencak Silat Cibubur, Jakarta Timur (2005).
Iko mulai menjalin hubungan dengan Jane Shalimar pada 2010, namun hubungan ini akhirnya berakhir. Setelah putus dengan Jane, Iko berpacaran selama tiga bulan dan menikah dengan penyanyi Audy Item pada 25 Juni 2012.

Filmografi: Merantau (2009, disutradarai Gareth Evans); The Raid: Redemption (2012, disutradarai Gareth Evans); Man of Tai Chi (2013, disutradarai Keanu Reeves); The Raid 2: Berandal (2014, disutradarai Gareth Evans); Beyond Skyline (2015, disutradarai Liam O Donnel), Star Wars: The Force Awakens (2015, disutradarai JJ Abrams), Headshot (2016, disutradarai Mo Brothers).
Penghargaan yang pernah diraih: Nomine Kategori Pendatang Baru Terbaik dan Terfavorit di Indonesia Movie Awards (2010); Nomine Peraih Breakout Stars yang dirilis Rotten Tomatoes dalam film “The Raid 1” (2012); Nomine peraih Pasangan Laga Terbaik (bersama aktor laga Donny Alamsyah) dalam film “The Raid 1” di Indonesia Movie Awards (2013); Nominasi Favorite Actor of The Year Indonesian Choice Awards 2014 NET.

Saat artikel ini ditulis, Iko sedang menggarap syuting film berikutnya, yakni “The Night Come for Us” yang juga dibesut duo sutradara Mo Brothers (Timo Tjahjanto dan Kimo Stamboel). Di film ini Iko bermain bersama Joe Taslim. Sesudah itu, Iko harus terbang ke Hongkong untuk membintangi film laga “Triple Threat,” yang disutradarai Chad Stahelski.

Dalam film ini, Iko akan bertarung bersama dua aktor laga Asia yang sedang naik daun, Tony Jaa dan Tiger Chen. “Triple Threat” menjadi pertemuan kedua bagi Iko dan Tiger Chen, yang pernah tampil bersama dalam film “Man of Taichi” (2013) yang disutradarai Keanu Reeves. Setelah ini, Iko berencana tampil kembali di film Hollywood lain yang sempat tertunda, bersama sutradara Peter Berg.

Jakarta, Januari 2017
Ditulis untuk Aktual.com

Tentang Demokrasi Kita yang Belum Substansial

0
0
Oleh: Satrio Arismunandar

Gerakan reformasi 1998 telah menghadirkan nilai-nilai baru, yakni nilai-nilai demokrasi, yang diimplementasikan dalam wujud transformasi Indonesia. Proses transformasi itu dilakukan tidak sembarangan, tetapi seharusnya dilakukan secara terukur, sistematik, dan terarah, untuk mencapai tujuan yang diinginkan.

Dalam menjalankan transformasi itu, faktor kepemimpinan sangat penting. Presiden sepatutnya menjalankan Kepemimpinan Demokratis (democratic leadership), yang dalam penerapannya mencakup pengelolaan konflik, mengingat begitu banyak aspirasi dan kepentingan dari bangsa yang beragam ini. Dalam kepemimpinan demokratis, pemimpin bukan segalanya, tetapi justru sistem yang harus berjalan. Pemerintahan tidak boleh tergantung pada person. Kekuasaan tidak boleh memusat pada person seperti di zaman Presiden Soekarno dan Presiden Soeharto.

Sementara itu konsolidasi demokrasi di Indonesia terus berlanjut, berbagai lembaga-lembaga demokrasi terus disempurnakan dan dibangun. Amandemen konstitusi pun dilakukan, yang mengubah lembaga legislatif dari sistem satu kamar (unikameral) menjadi sistem dua kamar (bikameral). Sistem pemerintahan yang sentralistik, dengan pengambilan keputusan terpusat, diganti menjadi lebih terdesentralisasi seiring dengan dikuatkannya otonomi daerah.

Perjalanan demokrasi di Indonesia memang mengalami masa pasang surut dan sempat menjalani berbagai “eksperimen demokrasi.” Indonesia setidak-tidaknya pernah menerapkan tiga model demokrasi, yaitu demokrasi parlementer, demokrasi terpimpin, dan demokrasi Pancasila. Setiap fase model demokrasi itu memiliki karakteristik yang khas dalam aspek pelaksanaan, dengan berbagai dinamikanya.

Jika bicara tentang penerapan demokrasi di Indonesia, tentu yang dimaksud adalah demokrasi yang substansial, dalam arti demokrasi yang mengedepankan substansi kedaulatan rakyat. Dengan demikian cocoklah semboyan demokrasi “dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat.” Demokrasi juga bukanlah sekadar sistem pemerintahan biasa. Ia harus dipahami, dihayati, dan dipraktikkan, sehingga secara fungsional terdapat suatu manfaat praktis yang dirasakan rakyat lewat demokrasi.

Dengan demikian, demokrasi sebetulnya juga terkait dengan budaya, sehingga kita bisa bicara tentang “budaya demokrasi.” Apakah budaya demokrasi sudah dihayati di Indonesia? Sayangnya, kita bisa mengatakan bahwa budaya demokrasi tampaknya sudah dikenal dan dipahami, namun belum cukup dihayati di Indonesia.

Sesudah jatuhnya kekuasaan Presiden Soekarno, Indonesia sempat begitu lama –sekitar 32 tahun-- berada di bawah pemerintahan otoriter Orde Baru. Kemudian, saat artikel ini ditulis, Indonesia sudah lebih dari 18 tahun menikmati suasana kebebasan di era reformasi pasca Soeharto. Namun, demokrasi Indonesia masih belum matang. Demokrasi kita pada dasarnya masih sekadar bersifat prosedural, belum substansial. Apa yang dimaksud dengan pernyataan itu?

Benar, kita menjalankan ritual demokrasi secara teratur. Setiap lima tahun, Indonesia mengadakan pemilihan umum legislatif dan pemilihan presiden. Di setiap provinsi, bahkan kotamadya dan kabupaten, juga berlangsung pemilihan kepala daerah. Indonesia juga memiliki berbagai lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif yang lengkap, sebagai bagian dari unsur-unsur yang mendukung berfungsinya demokrasi.

Namun, seberapa jauh semua ritual dan kelengkapan itu benar-benar mewujudkan kedaulatan rakyat, dan memperjuangkan aspirasi dan kepentingan rakyat, patut dipertanyakan. Banyak dikatakan, para elite politik hanya memikirkan rakyat dan sibuk mengambil hati rakyat setiap lima tahun sekali, hanya ketika mendekati pemilihan umum.

Latif (2014) menunjukkan, banyak orang telah melupakan pokok persoalan bahwa demokrasi lebih dari sekadar ledakan perhimpunan, pesta pemilihan, atau rebutan kekuasaan. Tetapi modus kekuasaan yang seharusnya lebih menjunjung tinggi daulat rakyat dengan mewujudkan tujuan negara, seperti termaktub dalam pembukaan UUD 1945. Yaitu, “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan social.”

Perkembangan demokrasi Indonesia membuat rakyat harus terbiasa memahami istilah dengan pengertian terbalik. Di Indonesia, pemaknaan “demokrasi” tidak mengikuti definisi Abraham Lincoln, “government of the people, by the people, and for the people” (pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat), tetapi terjungkir menjadi government off the people (pemerintahan yang terputus dari rakyat), buy the people (membeli rakyat), dan force the people (menekan rakyat).

Pelaksanaan demokrasi di Indonesia memang masih jauh dari ideal. Namun, meskipun memiliki kelemahan dan keterbatasan tertentu, demokrasi tetap merupakan pilihan sistem politik yang paling layak bagi Indonesia. Risikonya jauh lebih besar dan juga pelaksanaannya lebih sulit, jika mencoba menerapkan sistem politik lain di Indonesia, misalnya, seperti teokrasi atau militerisme (Azra, 2014).

Harus diakui, pasca gerakan reformasi 1998 yang menjatuhkan rezim Soeharto, dan sejak pemilihan umum pertama pasca Soeharto pada 1999, penerapan demokrasi di Indonesia masih terlihat “kacau.” Pemilihan kepala daerah yang dilakukan sejak 2005 juga masih banyak melibatkan politik uang, kecurangan, kekerasan, dan intimidasi terhadap lawan politik. Meski demikian, sesudah sekian tahun merasakan kebebasan di bawah sistem demokrasi, sulit membayangkan bahwa rakyat Indonesia akan memilih untuk menerima kembali sistem politik yang menganut otoritarianisme.

Azra masih melihat adanya aspek positif di balik penerapan demokrasi, yang terkesan masih semrawut di Indonesia saat ini. Yakni, secara perlahan sebenarnya demokrasi telah semakin tertancap dalam budaya politik warga. Kalau dibandingkan dengan penerapan demokrasi di negeri tetangga seperti Singapura dan Malaysia, sebenarnya demokrasi di Indonesia –dengan kebebasan berekspresi yang begitu terbuka, serta dimungkinkannya aspirasi politik yang beragam—mengisyaratkan suatu tahapan yang lebih maju.

Yang patut disayangkan, penguatan tradisi dan proses demokrasi itu belum disertai peningkatan budaya kewargaan (civic culture) dan keadaban (civility) para warga. Upaya penguatan tradisi dan proses demokrasi itu, menurut Azra, dapat dilakukan melalui pendidikan kewargaan (civic education) atau pendidikan demokrasi. Hal ini pernah dilaksanakan pada awal masa reformasi, menjelang pemilu 1999. Namun pada pemilu berikutnya di tahun 2004, 2009, dan 2014, pendidikan seperti itu tampaknya tidak menjadi prioritas untuk dilaksanakan.

Menurut Olle Tornquist (2014), demokrasi seharusnya berujung pada peningkatan kesejahteraan. Tetapi demokrasi elektoral yang menjamin hak sipil dan hak politik tidak cukup mendorong demokrasi tersambung pada kesejahteraan. Basis argumen Tornquist adalah hasil survei penelitiannya tentang aktor demokrasi di Indonesia, pada akhir 2003 hingga awal 2004.

Penelitian yang mensurvei lebih dari 500 responden dari Aceh hingga Maluku itu melihat dinamika demokrasi melalui variabel kapasitas politik para aktor. Penelitian itu mengungkapkan tentang dibajaknya demokrasi prosedural oleh para elite lama dan baru, yang terutama memiliki akses pada modal ekonomi (uang), kekuasaan, dan koneksi.

Pelaku oligarki di Indonesia adalah orang-orang dengan modal ekonomi (uang). Tetapi untuk bisa mendominasi politik dan memenangi pemilu, mereka perlu mengubah uang itu menjadi sebentuk legitimasi dan otoritas. Untuk itu, mereka membutuhkan banyak modal sosial (koneksi), pengetahuan, juga klientilisme dan populisme. Untuk itu, tak diragukan lagi, partai-partai di parlemen disetir dan didominasi oleh kekuatan oligarki dan pemimpin dengan banyak modal simbolik dan koneksi khusus.

Tornquist membuat penelitian susulan lewat survei pada 2013, yang hasilnya menbenarkan karakter klientilistik pada aktor demokrasi di Indonesia. Meskipun kepemilikan modal dan koneksi politik tidak serta-merta mengimplikasikan politik klientilisme, kombinasi keduanya dipahami secara luas sebagai elemen utama hubungan patron-klien. Menyadari kondisi yang bersifat merusak tersebut, harus ada pembaruan dalam sistem pemilu dan kepartaian, juga kebijakan untuk membangun saluran-saluran tambahan bagi keterwakilan kepentingan, gagasan, dan kaum minoritas.

Dengan memperhatikan semua kepentingan yang penuh pamrih dari para bos kelompok politik dan bisnis yang sangat berkuasa, diusulkan untuk membentuk komisi pemerintah yang independen dengan para pakar yang memiliki reputasi dan integritas tinggi, terkait keterwakilan demokrasi dan beberapa pemimpin terbaik dari parpol. Di dalam komisi independen itu digodok dan dimatangkan berbagai gagasan, yang lalu didiskusikan secara meluas dengan publik. Proposal final yang dihasilkan dan sudah disepakati secara luas itu tidak boleh ditolak mentah-mentah oleh presiden ataupun parlemen.

Membaca berbagai uraian kritis di atas, bisa menimbulkan kesan seolah-olah kondisi kehidupan demokrasi di Indonesia sangat parah dan menyedihkan. Padahal sebetulnya juga cukup banyak pencapaian kita dalam kehidupan berdemokrasi, sehingga kita tidak sepatutnya terlalu berkecil hati. Ada hal-hal positif yang bisa diketengahkan. Misalnya, pada 2014 Indonesia terbukti mampu menyelenggarakan dua peristiwa besar dalam kehidupan demokrasi di tingkat nasional, yaitu pemilihan umum legislatif dan pemilihan presiden.

Kedua peristiwa akbar tersebut, yang melibatkan ratusan juta pemilih di seluruh pelosok Indonesia, terbukti bisa berlangsung secara relatif aman dan damai. Coba bandingkan dengan pelaksanaan pemilu di negara-negara tetangga kita, yang masih diwarnai dengan kerusuhan bahkan terkadang bentrokan kekerasan yang menimbulkan korban jiwa. Pemerintah dari pihak pemenang pemilu yang kemudian berkuasa pun masih tidak bisa menjalankan pemerintahan secara tenang, karena terus digoyang stabilitasnya lewat berbagai aksi demonstrasi dan protes massal. Sebegitu parahnya hingga pihak militer akhirnya harus turun tangan, untuk menertibkan situasi.

Dengan segala kekurangan dan keterbatasannya, demokrasi Indonesia masih terus melangkah maju, dan kini semakin diakui dan diapresiasi oleh dunia internasional. Antusiasme publik untuk mengikuti pemilihan presiden, misalnya, meningkat signifikan dan diikuti dengan menyusutnya angka golput (warga yang tidak mau menggunakan hak pilihnya dalam pemilu).

Pada pemilihan presiden 2014, ketika pasangan calon presiden yang bersaing cuma dua orang, Prabowo Subianto dan Joko Widodo, sempat terjadi polarisasi yang tajam di semua lapisan, mulai dari partai pengusung sampai ke ruang-ruang kesadaran publik pemilih (Hernawan, 2014). Belum pernah dalam sejarah pemilihan presiden di Indonesia terjadi polarisasi yang begitu rupa.

Namun, meski awalnya sempat muncul kekhawatiran akan terjadi letupan kekerasan antar-pendukung calon presiden, tenyata kekhawatiran itu tidak terjadi. Sampai finalisasi penghitungan suara pemilih yang dilakukan Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada 22 Juli 2014, ternyata tidak ada bentrokan kekerasan. Artinya, masing-masing pihak yang bersaing mampu menunjukkan sikap menahan diri.

Bisa disimpulkan, pemilu legislatif dan pemilihan presiden 2014 telah berlangsung secara demokratis, aman, dan damai. Bukti-bukti konkret semacam ini merupakan modal kuat kita, untuk terus memperbaiki dan meningkatkan kualitas kehidupan demokrasi di Indonesia di masa-masa mendatang. Kita harus berpikir positif dan selalu memelihara harapan bahwa kita bisa mencapai kehidupan demokrasi yang lebih baik, dan mewujudkan kedaulatan rakyat yang sejati di dalamnya.

Jakarta, Januari 2017
Ditulis untuk Aktual.com

Kisah-kisah Kejujuran Menkeu Mar’ie Muhammad, Sang “Mister Clean”

0
0
Oleh: Satrio Arismunandar

Sebagai Menteri Keuangan era Orde Baru, pada pertengahan 1990-an, Mar’ie Muhammad suatu saat melakukan kunjungan kerja ke sebuah BUMN kehutanan di Sumatera. Malam sebelum rapat, seorang staf perusahaan mengantarkan cek senilai Rp 400 juta ke kamar hotel tempat Mar’ie menginap.

“Itu uang apa?” tanya Mar’ie.
“Itu bonus untuk bapak (sebagai komisaris yang mewakili pemerintah). Sebab laba perusahaan tahun ini sangat baik,” jawab si staf.
“Oh, taruh di meja itu.”
Besok paginya, Komisaris Mar’ie hadir di rapat BUMN tersebut, mendengarkan paparan tentang kondisi keuangan perusahaan dengan terinci.

Sebagai akuntan tangguh, Mar’ie bertanya macam-macam detail kinerja finansial kepada direksi, yang melaporkan dengan gembira tentang bagusnya kinerja bisnis perusahaan. Pertanyaan-pertanyaan akuntansi Mar’ie tajam dan gamblang, membuat direksi kewalahan, dan akhirnya sampai pada kesimpulan: perusahan tahun ini sebetulnya rugi, bukan untung.

“Kalau rugi seperti ini, kenapa perusahaan bisa kasih saya duit Rp 400 juta?”
Tidak ada yang bisa menjawab pertanyaan Mar’ie itu. Cek Rp 400 juta pun dikembalikannya dan diterima oleh pemberinya dengan penuh perasaan malu.

Cerita ini dituturkan oleh cendekiawan Muslim Dr. Nurcholish Madjid (alm) atau Cak Nur kepada rekan saya, mantan aktivis HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) Hamid Basyaib, dengan wajah berseri-seri. Nurcholish tak bisa dan tak mau menutupi kebanggaannya karena punya sahabat sejujur Mar’ie, mantan Sekjennya ketika Cak Nur menjabat Ketua Umum PB HMI.

Ada cerita lain lagi tentang kejujuran Mar’ie. Cerita ini juga dituturkan oleh Hamid. Suatu ketika seorang pengusaha besar dari Indonesia Timur, Pak Kaje menelepon Mar’ie Muhammad (waktu itu masih menjabat sebagai Dirjen Pajak, belum jadi Menkeu). Pak Kaje mengabarkan, ia ingin bersilaturahim ke kantor Mar’ie. Mereka bersahabat sejak tahun 1960-an, sebagai sesama aktivis HMI.

Mereka bertemu di kantor Dirjen Pajak. Setelah mengobrol ke sana ke mari, Pak Kaje menyatakan terima kasih kepada Mar’ie, karena berkat intervensinya pajak perusahaan Kaje bisa dikurangi hingga separuhnya.
Mar’ie kaget mendengar ucapan terima kasih sahabatnya itu. “Intervensi apa?” tanyanya. “Saya tidak pernah ikut campur soal urusan wajib pajak.”

Setelah dijelaskan duduk perkaranya oleh Pak Kaje, Mar’ie langsung menelepon pejabat perpajakan yang menangani pajak perusahaan Kaje.
Instruksi Mar’ie singkat dan lugas: kewajiban pajak perusahaan Kaje harus dibayar sesuai aturan, tidak boleh ada pengistimewaan apa pun, dan Dirjen Pajak tidak sedikit pun mencampuri urusannya. Persahabatan Dirjen Pajak dengan Pak Kaje tidak boleh mempengaruhi kewajibannya membayar pajak sesuai hukum yang berlaku. Titik.

Pak Kaje melongo, kemudian pulang dengan menggerutu. Ia menyesal telah memberitahu hal itu kepada Mar’ie. Ia bermaksud baik, sekadar ingin berterimakasih dengan tulus atas apa yang dianggapnya sebagai bantuan Dirjen Mar’ie dalam pengurangan kewajiban pajak perusahaannya.

Seandainya Kaje tak menginfokan hal itu, tentu Dirjen Mar’ie tidak tahu-menahu urusan pajak Kaje di tengah ribuan perusahaan, yang sebagian jauh lebih besar dibandingkan perusahaan miliknya yang berbasis di Indonesia Timur. Meski ia tahu sejak lama bahwa Mar’ie orang jujur, tapi ia tak menyangka bahwa ketegaran dan sikap tak kompromi Mar’ie bisa sejauh itu. Sanggup melampaui persahabatan puluhan tahun—sampai memerintahkan bawahannya untuk mengembalikan nilai pajak sesuai aturan dengan “merugikan” Kaje sebagai wajib pajak.

Pak Kaje jengkel karena perusahaannya harus membayar pajak dua kali lipat lebih besar daripada angka yang sudah disepakati dengan bawahan Mar’ie. Tetapi Kaje seperti banyak orang lain yang pernah bersentuhan dengan Mar’ie menaruh hormat tinggi kepada sahabatnya itu karena kejujurannya. Mar’ie adalah “Mister Clean” sejati, yang teguh dengan kejujuran dan sikap antikorupsi.

Kisah ini bisa beredar karena Mar’ie sudah meninggal. Jika masih hidup, ia pasti tidak ingin kisah ini diceritakan ke mana-mana, karena dia bukan sosok yang suka mencari popularitas. Kejujuran bagi Mar’ie adalah sesuatu yang biasa saja, bukan untuk ditonjol-tonjolkan, karena memang seorang Muslim harus hidup jujur. Tetapi siapa sebenarnya sosok yang penuh integritas ini?

Dr. H. Mar'ie Muhammad, M.Si. lahir di Surabaya, Jawa Timur, pada 3 April 1939, dan meninggal di Jakarta, 11 Desember 2016 pada umur 77 tahun. Mar’ie adalah Menteri Keuangan (1993-1998) pada pemerintahan Presiden Soeharto. Ia diberi gelar Mr. Clean karena perjuangannya memberantas korupsi di eranya, yang masih sarat dengan korupsi.

Pendidikan terakhirnya adalah Master of Arts In Economics, Universitas Indonesia. Pada 1969 – 1972, ia mengabdi di Direktorat Jenderal Pengawasan Keuangan Negara, Departemen Keuangan RI. Pada 1972-1988, ia mengabdi di Direktorat Jenderal Pembinaan BUMN Departemen Keuangan RI, dengan jabatan terakhir sebagai Direktur.

Tahun 1988-1993, ia mengabdi di Direktorat Jenderal Pajak, Departemen Keuangan sebagai Direktur Jenderal (Dirjen). Pada 1993-1998, ia jadi Menteri Keuangan Kabinet Pembangungan VI. Sesudah tak jadi menteri, pada 2001-2004 ia menjabat Ketua Oversight Committee (OC) BPPN.

Tahun 1999 – 2009, ia menjadi Ketua Palang Merah Indonesia (PMI). Sebelum wafat, ia sempat menjabat Ketua Komite Kemanusiaan Indonesia (KKI), Ketua Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI), dan Komisaris Utama PT Bank Syariah Mega Indonesia. Mar’ie wafat karena sakit infeksi paru-paru di Rumah Sakit Pusat Otak Nasional Jakarta, pada Minggu, 11 Desember 2016, pukul 01.37 WIB.

Banyak orang menjulukinya sebagai “Mr. Clean.” “Clean” yang artinya bersih sangat pas, mengingat besarnya jasa Mar'ie dalam membangun Kementerian Keuangan. Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi 2008-2013, Mahfud MD mengatakan, Mar'ie layak mendapatkan predikat itu karena mampu mengelola harta kekayaan negara dengan cara-cara yang bersih dan transparan. "Dia punya peluang yang besar karena dia Menkeu, apalagi saat zaman Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme ketika itu. Tapi dia tidak ada indikasi sedikitpun, untuk memanfaatkan jabatannya untuk memperoleh keuntungan diri sendiri," ujar Mahfud.

"Orangnya sederhana sampai akhir hayat. Rumahnya tetap segitu-segitu saja. Itu bersih namanya. Tidak ada indikasi atau berita kesalahan penyalahgunaan uang. Beberapa kali ke rumah saya bawa makanan nasi bungkus kebuli, buat di makan sama-sama, padahal saya waktu itu Ketua MK lho," jelas Mahfud.

Mahfud menambahkan, Mar'ie kerap menasehati supaya semua menjaga dan mensyukuri memiliki Indonesia. Negara ini, diharapkannya, tidak dikotori oleh sikap-sikap koruptif, yang di dalamnya termasuk korupsi. "Memberi pelajaran ke kita bahwa sekaya apapun, manusia akan kembali ke tempat 2 meter kayak gini (liang lahat)," lanjut Mahfud.

‎Wakil Menteri Keuangan, Mardiasmo menilai, sosok pejabat negara seperti Mar'ie di negara ini sangat langka. Pejabat yang betul-betul merefleksikan kesederhanaan kepada seluruh masyarakat. "Ini langka sekali. Dia tidak minta satu sen uang negara digunakan untuk kepentingan pribadi. Hanya haknya saja. Bu Menteri (Sri Mulyani) sudah buat ‎surat atau endorsement yang betul-betul ini harus jadi contoh Kemenkeu dan rakyat, karena beliau banyak melakukan sesuatu untuk kepentingan rakyat, tidak mau tandatangan kalau tidak berhubungan dengan rakyat," tutur Mardiasmo.

Sebelum wafat, Mar'ie berpesan kepada keluarganya untuk dimakamkan di tempat pemakaman umum biasa. Anak angkat Mar'ie, Muhammad Nurdi, yang tinggal bersama Mar'ie sejak kecil, mengatakan, Mar'ie selalu mengajarkan sikap jujur kepada anak-anaknya. "Tak mengambil hal-hal kecil yang bukan milik kita, apalagi yang besar," ujarnya. Anak-anak Mar'ie juga tak ada yang bekerja sebagai pegawai negeri. Mereka memilih bekerja di kantor swasta.

Mar'ie meninggalkan istri bernama Ayu Resmayati serta tiga anak, yakni Rifki Muhammad, Rifina Muhammad, dan Rahmasari Muhammad. Mar'ie juga meninggalkan satu cucu laki-laki dan empat cucu perempuan. Setelah disalatkan di Masjid Agung Al-Azhar, Jakarta Selatan, jenazah Mar'ie dimakamkan di TPU Tanah Kusir, tepatnya di Blok AA1 Blad 44. ***

Jakarta, Januari 2017

Dana Haji untuk Membangun Infrastruktur

0
0
Oleh: Satrio Arismunandar

Program pembangunan infrastruktur secara masif, yang menjadi salah satu ciri pemerintahan Presiden Joko Widodo, membutuhkan dukungan dana yang besar. Pilihan strategi ini sudah di jalur yang benar. Namun, melambatnya pertumbuhan ekonomi global, yang berdampak pada kondisi perekonomian nasional, menyebabkan realisasi proyek-proyek infrastruktur itu tidak mudah.

Postur APBN 2017 menunjukkan adanya defisit yang cukup mengkhawatirkan. Pada postur APBN 2017, pendapatan dianggarkan sebesar Rp 1.750,3 triliun dan belanja Rp 2.080,5 triliun. Ada defisit sebesar Rp 330,2 triliun yang akan ditutup dengan utang. Defisit ini bisa semakin besar, jika pendapatan ternyata tidak bisa direalisasikan sesuai rencana.

Dari anggaran belanja itu, sebesar Rp 764,9 triliun dialokasikan sebagai dana transfer ke daerah dan dana desa, dengan tujuan memperkuat desentralisasi fiskal. Salah satu realisasinya, percepatan pembangunan infrastruktur dasar. Asumsinya, infrastruktur yang buruk sangat menghambat pertumbuhan ekonomi.

Menghadapi kekurangan dana untuk infrastruktur itu, pemerintah harus putar otak untuk menggali sumber-sumber dana baru, selain utang. Nah, dari situ muncul gagasan untuk memanfaatkan dana haji atau BPIH (Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji) untuk membiayai pembangunan infrastruktur.

Gsgasan ini dimunculkan oleh Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Bambang PS Brodjonegoro pada 10 Januari 2017. Total setoran dana haji ke Kementerian Agama (Kemenag) saat ini diperkirakan mencapai lebih dari Rp 70 triliun. Menurut data Kemenag,per 2016, dana haji terbukukan sebesar Rp 89,9 triliun. Jumlah itu diperkirakan mencapai Rp 97,18 triliun pada tahun 2017.

Sementara per 2020, jumlah dana haji diperkirakan mencapai Rp 119,37 triliun. Perrkiraan ini dengan asumsi pertambahan setiap tahun sekitar Rp 8 triliun hingga Rp 9 triliun. Dana itu bisa dimanfaatkan untuk pembangunan infrastruktur, di mana imbas hasil (return)-nya dikembalikan lagi bagi jamaah.

Gagasan ini didukung Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia (IAEI). Alasannya, kapasitas infrastruktur dalam negeri masih perlu ditingkatkan. Apalagi, secara syariah, pembangunan infrastruktur bisa memanfaatkan dana masyarakat yang terkumpul dalam bentuk dana haji atau wakaf. Langkah ini dianggap lebih baik daripada mencari pendanaan infrastruktur dari luar negeri.

Jika untuk kemaslahatan umat, seperti yang selama ini dilakukan lewat Sukuk, dana wakaf atau dana haji bisa digunakan untuk membiayai proyek infrastruktur. Hal ini lebih baik, karena dana itu menghasilkan sesuatu, bisa menggairahkan sektor riil, ketimbang dibiarkan tidak produktif. Dengan waktu tunggu yang cukup lama (10-15 tahun), karakter investasi jangka panjang di aset-aset produktif cukup kompatibel.

Gagasan ini sekaligus juga bisa mendukung berkembangnya ekonomi syariah. Kita tak perlu malu belajar dari negara jiran Malaysia, yang sudah lebih dulu memanfaatkan dana haji sebagai sumber pendanaan untuk pembangunan infrastruktur. Beberapa negara lain juga menggunakan dana haji untuk berbagai investasi, seperti perkebunan kelapa sawit atau sektor-sektor yang menguntungkan lainnya.

Saat ini, dana haji baru sebatas dimanfaatkan oleh Kementerian Agama (Kemenag) melalui tiga skema, yaitu: untuk membeli Surat Berharga Syariah Negara (SBSN), Surat Utang Negara (SUN), dan deposito bank syariah. Di luar tiga instrumen tersebut, belum diperbolehkan. Sudah saatnya dana haji diputar untuk sesuatu yang memberi maslahat lebih besar bagi umat.

Namun, realisasi penggunaan dana haji untuk pembangunan infrastruktur tampaknya harus menunggu Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH), yang hendak dibentuk pemerintah. Pembentukan BPKH ini masih dalam proses.

Dalam UU No. 35/2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji (PKH), BPKH bertugas mengelola keuangan haji yang meliputi penerimaan, pengeluaran, dan pertanggungjawaban keuangan haji. BPKH berwenang menempatkan dan menginvestasikan keuangan haji sesuai dengan prinsip syariah, kehati-hatian, keamanan, dan nilai manfaat.

BPKH juga wajib memberikan informasi kepada jamaah haji mengenai nilai manfaat BPIH melalui rekening virtual setiap jamaah haji, melakukan pembukuan sesuai standar akuntansi yang berlaku, dan melaporkan pelaksanaan pengelolaan keuangan haji secara berkala setiap enam bulan kepada menteri dan DPR. Lalu, membayar nilai manfaat setoran BPIH secara berkala ke rekening virtual setiap jamaah haji, serta mengembalikan selisih saldo setoran BPIH dari penetapan BPIH tahun berjalan.

Dalam penjelasan undang-undang ini, peraturan pelaksana dan BPKH harus sudah terbentuk paling lama satu tahun sejak UU ini diundangkan. UU PKH sudah disahkan pada 17 Oktober 2014, jadi sekarang sudah lewat satu tahun.

Sambil menunggu BPKH terbentuk, dana haji termasuk dana abadi umat akan dimasukkan ke SDHI (Sukuk Dana Haji Indonesia). Alokasi dana haji yang masuk ke Kementerian Keuangan (Kemenkeu) melalui SDHI merupakan kewenangan Kemenkeu dan Bappenas. Dana pembangunan KUA dan perguruan tinggi Islam berasal dari sukuk.

Dana haji yang ditempatkan ke SBSN dan SUN akan masuk pengelolaan Kemenkeu. Di Kemenkeu, dana dari berbagai sumber yang masuk ke kas negara bisa dialokasikan untuk infrastruktur. Ketika dana haji sudah masuk ke SBSN atau SUN, bukan Kemenag lagi yang mengelola dana haji.

Wakil Ketua Dewan Syariah Nasional MUI, Adiwarman Karim, pada 14 Januari 2017 mengatakan, usulan Bappenas untuk menginvestasikan dana haji ke infrastruktur sudah tepat. Adanya pihak-pihak yang meminta dana haji tidak dicampur yang syubhat pun dinilai tidak tepat. “Masa pemerintah mau buat tempat prostitusi, kan nggak,” ujarnya kepada Republika (16/1).

Yang tak kalah penting adalah manfaat langsung bagi jamaah haji itu sendiri. Menurut Manajer Riset dan Pengabdian Masyarakat FEB UI, Fithra Faisal Hastiadi, investasi di proyek-proyek infrastruktur yang menguntungkan, selain berguna untuk percepatan pembangunan, juga bermanfaat untuk mengurangi setoran haji pada masa mendatang.

Keuntungan dari proyek-proyek tersebut bisa digunakan sebagai komponen untuk meringankan biaya haji. Namun, proyek-proyek yang didanai harus jelas keuntungannya. Faktor risikonya pun harus rendah. Analisis biaya-manfaat atas setiap rencana proyek harus jelas dan detail.

Faktor lain yang harus dipertimbangkan para pemangku kepentingan adalah perlu dibuat semacam lembaga penjamin. Nantinya, lembaga tersebut berfungsi untuk menanggung risiko kerugian dari proyek yang gagal. Sehingga pokok biaya haji yang dibayarkan jamaah haji tidak akan terganggu. ***

Jakarta, Januari 2017
Ditulis untuk Aktual.com

Fokus Jokowi 2017: Mengatasi Ketimpangan

0
0
Oleh: Satrio Arismunandar

Seumpama kapal besar, yang mengubah haluan sesudah berlayar hampir separuh perjalanan, pemerintah Presiden Joko Widodo telah mengubah strategi dan kebijakan untuk 2017, ketika memasuki tahun ketiga jalannya pemerintahan. Pemerintah mengakui, ada kebijakan yang kurang tepat sehingga harus diubah. Perubahan itu adalah dengan menekankan pada upaya mendorong dan menggerakkan ekonomi rakyat, untuk mengatasi ketimpangan dan kesenjangan pendapatan.

Kondisi ketimpangan ini memang cukup serius. Indonesia pada akhir 2016 adalah negara dengan tingkat ketimpangan pengeluaran terburuk ke-4 sedunia. Hal ini membuktikan, model pembangunan Indonesia selama ini gagal mewujudkan keadilan sosial, yang dicita-citakan sejak proklamasi kemerdekaan.

Ketimpangan yang terjadi di Indonesia meliputi empat aspek sekaligus, yaitu: sektor, pelaku usaha, individu, dan wilayah. Sektor yang menyerap tenaga kerja banyak justru tumbuh rendah. Sedangkan, sektor yang sedikit menyerap tenaga kerja justru tumbuh tinggi. Pada aspek pelaku usaha, ada pelaku usaha besar yang meraup keuntungan besar, dan pelaku usaha kecil hanya memperoleh keuntungan minim.

Ketimpangan individu menyangkut ketimpangan pendapatan dan pengeluaran. Data Bank Dunia menyatakan, 10 persen orang terkaya Indonesia menguasai 77 persen dari total kekayaan di Indonesia. Sedangkan laporan data perusahaan manajemen investasi global Credit Suisse pasa 2014 memaparkan, 1 persen kelompok terkaya Indonesia menguasai 50,3 persen dari total aset uang dan properti di Indonesia.

Adapun ketimpangan wilayah antara lain menyangkut ketimpangan antara kota dan desa, barat dan timur, Jawa dan luar Jawa, serta pusat pertumbuhan dan daerah perbatasan. Sebagian desa masih menjadi kantong kemiskinan karena penghasilan petani dan buruh tani sangat rendah. Merujuk data Badan Pusat Statistik, jumlah penduduk miskin di desa per September 2016 mencapai 17,28 juta jiwa atau 62,23 persen dari total populasi penduduk miskin di Indonesia. Sebanyak 90 persen penduduk desa adalah petani. Sisanya adalah pegawai negeri sipil, pedagang, dan usaha lain.

Seperti dikatakan Wakil Presiden Jusuf Kalla pada 6 Januari 2017, pemerintah ingin memastikan dana transfer daerah dan desa benar-benar masuk dan dikelola dengan baik. Selain itu, redistribusi aset, peningkatan kredit usaha rakyat, dan kemudahan akses permodalan harus dilakukan untuk menggerakkan ekonomi di desa dan daerah.

Mengatasi ketimpangan dan kesenjangan ekonomi bukanlah berarti menghambat dan mengurangi konglomerat atau pengusaha besar, melainkan juga memperluas ruang bagi tumbuh dan berkembangnya pengusaha nasional baru, yang selama ini tak mampu bersaing.

Pemberdayaan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) bisa menjadi pintu masuk dalam pemerataan kesejahteraan ekonomi. Untuk mendorong itu, relasi positif dengan perusahaan besar menjadi penting. Maka desain keterkaitan bisnis yang sehat menjadi vital.

UMKM menyerap sebagian besar tenaga kerja di Indonesia. UMKM sekaligus menjadi penyumbang produk domestik bruto (PDB) terbesar. Maka, pemberdayaan UMKM akan membuat kesejahteraan merata. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, UMKM menyumbang 60 persen PDB.

UMKM juga menyediakan lapangan kerja bagi 107,6 juta pekerja atau sekitar 97 persen dari jumlah pekerja di Indonesia per tahun 2012. Tenaga kerja itu sekitar 90 persen di usaha mikro, 4 persen di usaha kecil, dan 3 persen di usaha menengah.

Dengan membina UMKM dan memberi pelatihan yang benar, akan muncul tenaga kerja terampil. Ujung-ujungnya, terjadi produksi yang baik di sektor apa pun. Pembinaan UMKM ini tidak hanya menjadi tugas pemerintah, tetapi juga menjadi tanggung jawab perusahaan-perusahaan besar. Jika setiap perusahaan besar di Indonesia membina UMKM, niscaya pemerataan akan terjadi secara otomatis. Ini yang banyak dikerjakan negara-negara maju.

Pemberdayaan UMKM memang bisa menjadi pintu masuk untuk mengurangi kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan. Tentu ini harus diletakkan dalam konteks kebijakan yang komprehensif. Kebijakan komprehensif ini mensyaratkan desain relasi bisnis positif antara pelaku usaha besar dan UMKM. Sehingga ekspansi yang besar berarti ekspansi juga bagi yang kecil.

Yang juga tak boleh dilupakan adalah keseriusan dan komitmen pemerintah, yang diwujudkan dalam bentuk dukungan politik. Dalam pertemuan makan siang bersama dengan Presiden Jokowi, Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir pada 13 Januari 2017 menyatakan, diperlukan kehadiran negara, untuk membela dan memberdayakan rakyat.

Tidak mungkin membangun kesejahteraan rakyat, jika tidak didukung oleh kekuatan politik. Ada sejumlah terobosan yang perlu dilakukan pemerintah untuk mengatasi kesenjangan. Terobosan itu, misalnya, dengan menata ulang penguasaan lahan dan melindungi pelaku ekonomi kecil ketika harus bersaing dengan pemilik modal besar.

Lembaga keuangan juga diminta untuk membantu pemerintah dalam mengurangi ketimpangan kesejahteraan masyarakat. Pengusaha industri jasa keuangan diharapkan tidak lagi hanya mementingkan keuntungan dengan menerapkan bunga tinggi, tetapi juga mempertimbangkan keadilan masyarakat. ***

Jakarta, Januari 2017
Ditulis untuk Aktual.com

Mengantisipasi Kebijakan Militer AS di Bawah Trump

0
0
Oleh: Satrio Arismunandar

Kemenangan pengusaha Donald Trump dalam pemilihan Presiden Amerika Serikat, 8 November 2016, menimbulkan goncangan di seluruh dunia. Sungguh di luar dugaan bahwa tokoh yang sering mengeluarkan pernyataan bernada rasis, memojokkan kaum minoritas, bahkan melecehkan kaum perempuan, bisa terpilih menjadi presiden sebuah negara adikuasa dengan selisih suara signifikan.

Dalam bidang ekonomi, masyarakat dunia merasa was-was dengan ketidakpastian kebijakan Trump. Dalam berbagai pernyataannya selama kampanye, Trump cenderung mendukung kebijakan perdagangan yang lebih proteksionis. Ini bukan berita bagus bagi penganjur perdagangan bebas.

Namun, karena Trump belum resmi menjabat Presiden AS, masyarakat dunia bersikap menunggu sampai ada rincian dan kejelasan lebih lanjut. Meski begitu, dalam isu pertahanan, kemiliteran, dan persenjataan, arah kebijakan Trump tampaknya cukup jelas.

Sebagai negara besar dan adidaya dengan anggaran militer terbesar di dunia, dan sejarah intervensi militer AS di berbagai penjuru dunia, kebijakan seorang Presiden AS akan berpengaruh pada seluruh dunia. Oleh karena itu, berbagai perumus kebijakan di Eropa, Asia, Timur Tengah, dan Amerika mencoba mengantisipasi langkah-langkah apa yang akan diambil Trump sesudah resmi menjadi Presiden AS nanti.

Salah satu sektor yang tampaknya akan meraih dampak positif dari kemenangan Trump, Presiden terpilih dari Partai Republik ini, adalah sektor kedirgantaraan dan pertahanan. Dalam masa kampanye, Trump dan pesaingnya dari Partai Demokrat, Hillary Clinton, belum membuat penjelasan rinci tentang anggaran pertahanan.

Namun, sudah cukup alasan bagi analis pertahanan untuk menyatakan bahwa kemenangan Trump akan memberi dampak yang berarti bagi Lockheed Martin (LMT), Northrop Grumman (NOC), Boeing (BA), dan kontraktor pertahanan lainnya.

Pesawat Pembom B-21

Program-program utama dalam permintaan anggaran yang diajukan Pentagon saat ini mencakup pesawat tempur F-35 buatan Lockheed Martin dan pembom B-21 buatan Northrop Grumman. Angkatan Udara AS memang sedang mencari pesawat baru untuk mengganti armada pembomnya yang sudah tua. Besar anggaran itu adalah 400 miliar dollar AS untuk pesawat F-35. Serta, pembelian 80 sampai 100 pembom B-21 dengan biaya 50-80 miliar dollar AS.

Analis pertahanan Loren Thompson dari Institut Lexington menyatakan, kemenangan Trump berarti kembalinya “hari-hari bahagia untuk industri pertahanan.” Rencana luas Trump untuk berbelanja lebih banyak alutsista, memotong pajak pendapatan perusahaan, dan memperkuat sektor manufaktur AS, akan berarti positif bagi kontraktor-kontraktor pertahanan, termasuk Boeing.

Namun, sebaliknya sektor pesawat terbang komersial dari bisnis Boeing tergantung secara kritis pada penjualan ke luar negeri, serta pada tatanan internasional yang condong ke arah perdagangan bebas. Retorika proteksionis dan antiperdagangan bebas Trump, selama musim kampanye, telah menimbulkan keprihatinan nyata bahwa kebijakan pemerintah baru AS mungkin akan menghambat perkembangan industri penerbangan global.

Misalnya, Trump secara spesifik menentang kesepakatan nuklir antara pemerintah Barack Obama dengan Iran. Padahal, berkat adanya kesepakatan itu, sanksi perdagangan terhadap Iran dicabut, dan Boeing mendapat pesanan untuk menjual banyak pesawat penumpang komersial ke Iran. Trump juga mengecam Bank Ekspor-Impor, yang mendukung pembiayaan banyak penjualan pesawat komersial ke luar negeri.

Trump menjanjikan untuk meningkatkan ukuran militer AS, dan secara signifikan akan menambah jumlah kapal perang di arsenal AS. Trump juga bicara tentang pengembangan pertahanan rudal, dengan fokus pada melengkapi kapal-kapal Angkatan Laut dengan kapabilitas semacam itu.

Dalam pertemuan dengan wartawan, Oktober 2016, Trump menegaskan, “Saya akan membangun militer yang jauh lebih kuat dari keadaannya sekarang. Ia akan menjadi begitu kuat, (sehingga) tak seorang pun yang akan (berani) macam-macam dengan kita. Tapi Anda tahu, tidak? Kita bisa melakukan hal itu dengan biaya jauh lebih murah.”

Penghematan Anggaran

Pendekatan Trump untuk memperkuat militer, yang berarti menambah belanja persenjataan, bukanlah tidak realistis. Rencana Trump untuk “membuat Amerika berjaya kembali” (make America great again) menyerukan penghematan anggaran, dengan jika perlu meninggalkan NATO (Pakta Pertahanan Atlantik Utara). Atau dengan mengambil peran sekunder dalam aliansi-aliansi internasional semacam itu.

Sebagai gantinya, Trump akan meminta Jerman, Korea Selatan, Arab Saudi, dan sekutu-sekutu kunci lainnya untuk mendanai pertahanan mereka sendiri. Uang yang dihemat dari pengurangan skala proteksi terhadap sekutu-sekutu di Eropa dan Asia akan dialihkan untuk memerangi kelompok ekstrem ISIS (Negara Islam di Irak dan Suriah), kontrol perbatasan, dan peningkatan investasi pada produk-produk pertahanan baru.

Hal itu juga bisa berarti militer yang berteknologi lebih canggih. Investasi dalam persenjataan siber (cyber-weaponry) tampaknya akan menjadi sasaran kunci. Begitu juga, propulsi hipersonik, pesawat-pesawat nirawak (unmanned aerial vehicles), dan senjata-senjata terarah presisi (precision-guided weapons).

Lockheed sedang mengembangkan teknologi penerbangan, yang mampu mencapai Mach 6 atau enam kali kecepatan suara (lebih dari 7.360 km/jam), dalam divisi Skunk Works yang dirahasiakan. Raytheon (RTN) juga sedang mengerjakan teknologi rudal, yang bisa bermanuver dengan kecepatan Mach 5 (sekitar 6.080 km/jam).

Proyek munisi serang langsung gabungan atau joint direct attack munitions (JDAM), yang mengubah bom bodoh menjadi bom pintar, sangat dibutuhkan oleh Angkatan Udara AS dan negara-negara sekutu dalam perang melawan ISIS. Trump sudah mengatakan, ia mendukung pengerahan pasukan darat AS untuk melawan ISIS.

Namun, berbagai penghematan jangka pendek Trump --lewat penarikan diri AS dari dari berbagai aliansi dengan negara-negara sekutu—mungkin justru akan menimbulkan biaya yang sangat besar dalam jangka panjang. Jika ucapan Trump diterapkan secara literal, ia akan menimbulkan dampak yang mengganggu terhadap kebijakan AS sejak 1940-an. Peran dasar AS di dunia juga akan berubah.

Kebijakan Terhadap Asia

Bagi Indonesia, yang relevan dan perlu diperhatikan dari kebijakan Trump adalah pandangannya tentang Asia. Dalam konteks kemitraan dan aliansi AS dengan Asia, Trump mengisyaratkan pendekatan yang lebih sempit dan lebih transaksional, yang didasarkan pada pembagian beban yang lebih besar.

Jika melihat retorikanya, kebijakan Trump tampaknya menunjukkan perubahan radikal dari seluruh tiang kebijakan Obama, yang mencoba melakukan perimbangan kembali (rebalance) ke Asia. Namun, jika dilihat lebih mendalam, skala perubahan dalam kebijakan Trump itu tampaknya tidaklah sedramatis yang diperkirakan semula.

Dalam artikel di Foreign Policy (7 November 2016), dua penasihat Trump, Alexander Gray dan Peter Navarro, membingkai kebijakan Trump terhadap Asia. Kebijakan Trump itu melibatkan pendekatan yang lebih mementingkan diri sendiri dalam ekonomi, serta militer yang lebih kuat. Kebijakan itu hampir seluruhnya berhubungan dengan China yang semakin asertif, dan peran Beijing yang terlalu berlebihan di kawasan itu.

Artikel itu juga menyalahkan pemerintah Obama, yang dianggap gagal merespons perolehan China di Laut China Selatan dan sekutu kembar AS di Asia Tenggara, yakni Thailand dan Filipina. Artikel ini jauh lebih bersifat “elang” (hawkish) daripada apa yang kita lihat dalam kebijakan AS-China pada tahun-tahun terakhir.

Akan ada risiko besar pecahnya perang di Pasifik Barat, ketika AS menarik diri dari aliansi dengan Jepang dan Korea Selatan. Di dua negara itu, AS telah menempatkan tentaranya dalam jumlah yang cukup besar. Jika AS menarik pasukannya, tentu ada perimbangan kekuatan yang bergeser.

Ada kekhawatiran bahwa China, Korea Utara, dan Rusia akan menjadi lebih agresif, ketika AS tidak lagi melindungi negara-negara sekutu di Eropa dan Asia. Ini pada gilirannya akan memaksa Trump untuk memperbesar belanja pertahanan untuk jangka menengah dan jangka panjang. Hal itu diperlukan untuk melawan musuh-musuh yang lebih kuat, yang sebelumnya telah tumbuh semakin kuat karena tidak terhambat oleh AS.

Dalam kampanyenya, Trump juga menyatakan, organisasi NATO sudah usang. Pengaturan pertahanan itu dirancang untuk menghadapi ekspansionisme Soviet, dan menurut Trump, organisasi NATO sudah tidak cocok untuk melawan terorisme saat ini.

Menanggung Beban

Trump telah memperingatkan negara-negara NATO, yang ia pandang sebagai “penumpang gratis” (free riders), bahwa mereka harus menanggung beban lebih besar dalam pembagian beban keuangan di front keamanan.

Para anggota NATO telah menandatangani deklarasi di Wales tahun 2014, yang menyepakati peningkatan belanja pertahanan hingga menjadi sebesar 2 persen dari produk domestik bruto (PDB), dalam waktu satu dasawarsa. Namun, target itu saat ini belum tercapai.

NATO menyatakan, Kanada hanya mengeluarkan 1 persen dari PDB untuk belanja pertahanan 2015. Ini jumlah yang terkecil sejak sebelum Perang Dunia II. Sementara, sebagian besar anggota NATO lain juga gagal memenuhi komitmen mereka

Hanya lima negara Uni Eropa, termasuk Inggris, yang memenuhi target NATO, yaitu mengeluarkan anggaran pertahanan sebesar 2 persen dari PDB. Sedangkan, 10 negara Uni Eropa lainnya masih berupaya keras memenuhi target itu.

Kanada kini berada di urutan nomor tiga paling bawah dalam belanja pertahanan sebagai persentase dari PDB. Walau Trump tidak menyebut Kanada secara spesifik, para analis pertahanan di Kanada memperkirakan, Washington akan mengirim pesan di masa depan bahwa Kanada harus menyumbang lebih banyak uang dan perlengkapan.

Trump mengatakan, ia ingin menjalin hubungan baru dengan Rusia. Trump juga mengisyaratkan, perlu ada peningkatan kerjasama dengan Rusia dalam perang melawan ekstremis-ekstremis Islam di Irak dan tempat-tempat lain. Jadi, akan ada pergeseran nada kebijakan yang besar terhadap Rusia.

Pada 14 November 2016, Trump sudah berbicara lewat telepon dengan Presiden Rusia Vladimir Putin, yang mengucapkan selamat atas kemenangan Trump sebagai Presiden AS. Putin mengatakan, Rusia siap bekerja sama dengan AS dan membangun dialog kemitraan dengan pemerintah baru AS. Menyangkut keamanan global, Putin dan Trump sepakat bersama-sama memerangi musuh utama, yakni terorisme dan ekstremisme internasional.

Uni Eropa dan NATO

Terpilihnya Trump sebagai Presiden AS membuat Uni Eropa (UE) merasa perlu memodifikasi strategi militernya. Alasannya, Trump dianggap cenderung pro-Rusia, sementara bagi UE, Rusia adalah ancaman. UE kini mengusulkan pembentukan pasukan gerak cepat.

UE telah menerapkan sanksi kepada Rusia sejak 2014 ketika negara itu menganeksasi Crimea dan mendestabilisasi keamanan Ukraina. Menghangatnya kembali hubungan AS-Rusia akan membuat sebagian negara-negara Eropa berubah sikap. Negara yang sebelumnya sudah enggan menerapkan sanksi ke Rusia karena berdampak pada perekonomian mereka, seperti Jerman dan Italia, bisa jadi akan mendesakkan pencabutan sanksi.

Alasan kedua, dalam kampanyenya, Trump berulang kali mengatakan akan meninggalkan sekutu-sekutunya di Eropa, jika jika negara-negara Eropa tidak menambah anggaran pertahanannya. AS tidak mau lagi terlalu ”dibebani” biaya pertahanan untuk keamanan sekutu-sekutu Eropa itu.

Selama 70 tahun, dukungan militer AS di Eropa menjadi prioritas kebijakan luar negeri AS. Namun, terpilihnya Trump membuat para menteri luar negeri dan menteri pertahanan Eropa merasa perlu bertemu di Brussels, Belgia, untuk merumuskan strategi. Maka muncullah usulan pembentukan pasukan gerak cepat Eropa.

Terpilihnya Trump membuat UE harus segera mengantisipasi langkah untuk melindungi kepentingan Eropa. Setidaknya sampai Washington memiliki kebijakan Trans-Atlantik yang jelas. UE tidak mau menggantungkan sepenuhnya keamanan mereka pada Washington.

Kesepakatan tentang pasukan gerak cepat itu menyebutkan, UE bisa mengirimkan pasukan militer untuk menstabilkan krisis, sebelum pasukan penjaga perdamaian PBB mengambil alih. Langkah ini akan diambil tanpa harus mempertimbangkan kehadiran AS.

UE memang tidak memiliki pasukan. Tapi saat ini UE terlibat dalam sejumlah operasi gabungan sipil-militer, seperti di wilayah Afrika Tengah, atau operasi memerangi pembajakan seperti di wilayah Tanduk Afrika. Pengamat menilai, kesepakatan ini masih sangat lunak, ketimbang rencana untuk membuat pasukan gabungan Eropa.

Rencana pembentukan pasukan gerak cepat ini ditentang keras oleh Inggris, yang tidak lagi dilibatkan dalam kebijakan-kebijakan penting UE pasca Brexit. Bagi Inggris, pembentukan pasukan gabungan Eropa itu akan melemahkan NATO, di mana Inggris menjadi salah satu anggota yang paling berperan di situ.

Alhasil, kebijakan pertahanan Trump itu memang masih tentatif. Ada yang mengatakan, apapun retorika pidatonya dalam kampanye pilpres, Trump pada akhirnya adalah seorang pengusaha. Pengusaha umumnya pragmatis. Artinya, kebijakan pertahanan Trump nanti mungkin tidak seheboh ucapannya di masa kampanye.

Jakarta, Desember 2016


KSAU Baru, Pesawat Tempur Baru

0
0
Oleh: Satrio Arismunandar

Presiden Joko Widodo akhirnya melantik Marsekal Madya Hadi Tjahjanto sebagai Kepala Staf TNI Angkatan Udara (KSAU) yang baru, sekaligus menaikkan pangkatnya menjadi Marsekal pada 18 Januari 2017. Beban tugas berat sudah menunggu Hadi. Yakni, meminimalkan kecelakaan pesawat TNI AU yang belum lama ini cukup sering terjadi, serta mengawal pengadaan pesawat-pesawat tempur baru.

Tak kurang dari sejumlah pengamat dan anggota DPR, yang mengingatkan Hadi untuk segera melakukan evaluasi terhadap alat utama sistem persenjataan (alutsista). Hal ini karena banyaknya insiden yang terjadi di TNI AU. Harus ada evaluasi menyeluruh, mulai dari proses perencanaan sampai pengadaan, agar ke depan tak ada lagi insiden pesawat TNI jatuh.

Hal ini penting, karena di bawah kepemimpinan Hadi, mungkin dalam waktu tak lama TNI AU akan menerima berbagai alutsista baru. Khususnya pesawat tempur baru untuk menggantikan armada pesawat F-5E Tiger II, warisan era Presiden Soeharto, yang sudah uzur.

Menurut Hadi, TNI AU akan berusaha untuk membuat zero accident (nol kecelakaan) dalam setiap penerbangan. Ini hanya bisa dicapai dengan perbaikan manajemen, mulai dari tingkat bawah hingga tataran atas. Perbaikan manajemen ini bisa dimulai dari pengadaan barang, pembinaan latihan, sampai pengarahan di satuan bawah, yang harus melekat dan menjadi perhatian khusus.

Di periode ini, KSAU baru harus mengambil beberapa keputusan penting. Salah satunya mengganti pesawat tempur F-5E Tiger II yang sudah tua. Saat ini ada polemik, apakah akan mengganti dengan Sukhoi Su-35 atau dengan F-16 versi baru. Padahal anggaran sudah ada, hanya keputusan yang belum. Ini adalah keputusan politis dan harus segera diselesaikan.

Tentang pengadaan pesawat Sukhoi, Hadi mengatakan, pihaknya masih membuat rencana pembelian ini dengan Kementerian Pertahanan. TNI AU hanya memberikan kriteria dari pesawat yang sebaiknya dibeli.

Menurut “Defence Review Asia” edisi November-Desember 2016, banyak pejabat militer RI menunjukkan minat yang kuat pada pesawat Sukhoi Su-35. Pesawat ini memang dianggap memiliki nilai deteren (penangkal) yang kuat terhadap negara luar, yang mungkin coba-coba mau mengetes pertahanan udara Indonesia.

Satu-satunya penghambat , yang menyebabkan pembelian pesawat itu tak segera dilakukan, adalah semata-mata soal pendanaan dan finansial. Di masa lalu, untuk pembelian pesawat tempur Su-27 dan Su-30 (versi pendahulu Su-35), dilakukan lewat imbal beli (barter) antara Indonesia dan Rusia, di mana pihak Rusia membeli minyak sawit, karet, dan berbagai komoditi tradisional Indonesia lainnya.

Indonesia sejauh ini sudah memesan dan memiliki lima Sukhoi Su-27SK (pesawat pemburu berkursi tunggal) dan sebelas Su-30MK2 (pesawat tempur multiperan). Pengiriman terakhir pesawat ini terjadi pada 2013. Jajaran Su-27/Su-30 saat ini menjadi unsur kunci dalam membangun kembali sistem pertahanan udara Indonesia, yang pernah jaya dan disegani pada era 1950-an.

Pemerhati pertahanan-keamanan dari Imparsial, Al-Araf, berpendapat, upaya memodernisasi alutsista adalah agenda penting, khususnya bagi TNI AU di bawah Hadi. Upaya modernisasi alutsista itu harus bertahap dan harus punya perencanaan serta skala prioritas, agar bisa tercapai.

Selain itu, transparansi dan akuntabilitas juga harus dilakukan. Salah satunya, dengan melibatkan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Sehingga, konsekuensinya perlu reformasi peradilan.

Hadi menyatakan, sesuai rencana strategis (renstra) TNI AU hingga 2024, pihaknya juga akan menambah 12 radar penerbangan di seluruh Indonesia. Radar-radar ini akan ditempatkan di daerah yang selama ini tidak terpantau radar.Di antaranya, yang menjadi titik penempatan radar adalah Kalimantan, Nusa Tenggara Timur, Papua, hingga Sumatera. Hingga 2024, diharapkan 32 radar terpasang untuk mengawasi penerbangan.

Kekuatan udara sangat vital bagi Indonesia, yang memiliki sekitar 17.000 pulau yang terentang antara Lautan Pasifik dan Lautan India. Luas tanah pulau-pulau itu mencapai 1,9 juta km2. Indonesia juga menjadi titik perlintasan jalur pelayaran global. Selat Malaka, Selat Sunda, dan Selat Lombok adalah jalur penting yang dilewati kapal-kapal dagang, dengan nilai perdagangan mencapai 5 triliun dollar AS tiap tahun. Termasuk di dalamnya, separuh pengiriman kapal tanker minyak dunia.

Wilayah ini menjadi semakin penting artinya bagi dua negara adidaya dunia: Amerika Serikat dan China. Karena pertimbangan politik, pemerintah Presiden AS Barack Obama sebelum ini selalu mencoba mengganggu atau menghambat penjualan senjata Rusia atau China ke negara-negara di kawasan ini.

Berbagai dinamika kawasan ini tentu menjadi bahan pertimbangan bagi Hadi sebagai KSAU baru. Hadi Tjahjanto menggantikan Marsekal Agus Supriatna sebagai KSAU. Hadi lahir di Malang, Jawa Timur, 8 November 1963.

Ia tercatat sebagai perwira tinggi lulusan Akademi Angkatan Udara pada 1986 dan Sekolah Penerbang TNI AU pada 1987. Hadi sempat menjabat Komandan Pangkalan Udara (Danlanud) Adi Sumarmo, Boyolali, dan Danlanud Abdurahman Saleh, Malang. ***

Jakarta, Februari 2017
Ditulis untuk Aktual.com

Zaskia Gotik dan Pencarian Kebenaran di Media

0
0
Oleh: Satrio Arismunandar

Mencari kebenaran di media massa, apalagi di media sosial, saat ini ibarat mencari sebuah jarum dalam tumpukan jerami. Sangat sulit. Bermacam ragam informasi dari berbagai sumber ada di sana. Semua orang bisa mengakses informasi, dan pada saat yang sama juga bisa mengunggah dan menyebarkan informasi.

Kita adalah konsumen, sekaligus produser informasi. Tak heran, di era internet ini, kita tidak kekurangan informasi, tetapi justru bingung dan megap-megap karena berlimpahnya informasi. Sedangkan gunungan informasi itu tercampur baur, antara informasi yang punyai nilai tertentu dan informasi yang cuma bernilai sampah.

Dibutuhkan keahlian tertentu untuk bisa memilah-milah, mana informasi yang benar, informasi setengah benar, dan mana informasi yang bohong. Sayangnya, mayoritas konsumen informasi di media tidak memiliki cukup keterampilan untuk memilah informasi. Maka sebagian besar mereka betul-betul menjadi “korban” informasi, manakala mereka menelan bulat-bulat semua informasi yang tersebar di media.

Seorang praktisi propaganda mengatakan, kebohongan yang diulang-ulang terus-menerus lama-lama akan menjadi kebenaran. Pernyataan itu tepat sekali, seperti contoh, kasus yang saya ceritakan ini. Bemula dari seorang penyanyi dangdut, Zaskia Gotik, yang membuat pernyataan menghebohkan di media tentang Pancasila. Ucapan itu menunjukkan ketidaktahuan Zaskia tentang Pancasila.

Tak lama setelah itu, muncul berita di media infotainment bahwa Zaskia Gotik telah dipilih menjadi “Duta Pancasila.” Berita itu memunculkan kritik dan kecaman kepada pemerintah, kok orang yang tidak tahu Pancasila justru ditunjuk jadi “Duta Pancasila?” Di mana logikanya? Apakah pemerintah sudah bertindak ceroboh?

Tetapi, faktanya Zaskia Gotik memang tidak pernah jadi “Duta Pancasila,” meski heboh jadi “Duta Pancasila” itu sudah terlanjur diramaikan oleh sejumlah program infotainment. Berita “Zaskia Gotik menjadi Duta Pancasila” itu sebenarnya adalah hasil “plintiran” media. Demikian yang saya simpulkan setelah bicara dengan salah satu pejabat di Kementerian Pertahanan (Kemhan) RI, Jakarta, belum lama ini.

Kejadian yang sebenarnya, menurut versi pejabat itu, Zaskia Gotik atas kemauan dan kehendak sendiri (artinya, tidak dianjurkan apalagi disuruh oleh Kemhan) telah mendaftar untuk ikut program bela negara. Bela negara adalah program resmi Kemhan RI, yang bertujuan menanamkan semangat bela negara, nasionalisme, dan patriotisme, khususnya pada generasi muda yang dikhawatirkan mengalami erosi nilai-nilai kebangsaan.

Dalam “kurikulum” nya, peserta program bela negara ini tentu diberi materi tentang Pancasila, UUD 1945, semangat cinta Tanah Air, dan sebagainya. Program ini bisa diikuti oleh setiap warga negara Indonesia. Tidak ada yang luar biasa dengan keikutsertaan itu, karena para pembaca dan saya juga bisa mendaftar untuk mengikutinya.

Nah, singkat cerita, pejabat Kemhan jadi terkaget-kaget ketika sejumlah media memberitakan bahwa Zaskia Gotik sudah menjadi “Duta Pancasila.” Padahal Kemhan tidak tahu-menahu dan tidak pernah mengangkat Zaskia Gotik menjabat posisi semacam itu. Bahkan sampai hari ini tidak posisi atau jabatan resmi resmi “Duta Pancasila.”

Namun, pemberitaan tentang Zaskia sebagai “Duta Pancasila” itu sudah begitu meluas dan masif, sehingga pihak Kemhan bingung bagaimana untuk membantahnya. Akhirnya, berita hasil plintiran wartawan itu dibiarkan saja oleh pejabat Kemhan, dengan harapan pelan-pelan isu itu akan mereda sendiri. Dan, akhirnya memang demikian.

Tetapi saya tetap berpendapat, sesuatu berita yang keliru sebaiknya tetap dikoreksi. Karena publik dan masyarakat Indonesia berhak mengetahui kebenaran faktanya. Jangan biarkan mereka berpikir negatif terhadap Kemhan untuk hal-hal yang tidak penah dilakukan Kemhan.

Nah, inilah fenomena di media kita, yang berimbas juga di media sosial. Berkat kemajuan teknologi internet, banyak berita plintiran, setengah benar, setengah bohong, setengah fiksi, bisa beredar bebas dan meluas di mana-mana. Celakanya, berita ngawur dan palsu itu (orang menyebutnya “hoax”) sudah berulang-ulang disampaikan, dan oleh publik terlanjur dianggap sebagai kebenaran.

Kita atau instansi pemerintah manapun sulit menangkal berita palsu yang membanjir di media semacam ini. Salah satu cara untuk mengatasinya adalah pendidikan literasi media. Literasi media ini penting agar masyarakat semakin kritis. Dengan kekritisan itu, mereka tidak akan menelan bulat-bulat begitu saja berita yang muncul di media. ***

Jakarta, Februari 2017
Ditulis untuk Aktual.com

Ima Matul Maisaroh, Mantan “Budak” yang Melawan Mafia Perdagangan Manusia

0
0
Oleh: Satrio Arismunandar

Perjalanan hidup manusia memang tidak terduga. Siapa nyana seorang gadis 17 tahun asal Malang, Jawa Timur, yang dijual dan dijadikan “budak” di Amerika Serikat (AS), akhirnya bisa bebas. Bahkan ia lalu bangkit dan menjadi aktivis anti perdagangan manusia di negeri Paman Sam tersebut.

Gadis itu adalah Ima Matul Maisaroh. Lahir di Pagelaran, Kabupaten Malang, Jawa Timur pada 20 Maret 1980, Ina menjalani pahit getir kehidupan yang luar biasa. Pengalaman itu berawal pada 1997, ketika ia ditawari pekerjaan sebagai pramuwisma di AS dari seorang warga AS yang memiliki saudara di Malang.

Latar belakang pendidikan Ima adalah SD dan Madrasah Tsanawiyah (MTs) di Kanigoro, Pagelaran, Kabupaten Malang. Ia sempat mengenyam pendidikan di SMA, tetapi cuma sampai kelas I.

Ima dijanjikan gaji 150 dollar AS (sekitar Rp 600 ribu, berdasarkan kurs saat itu). Jumlah itu cukup besar menurut ukuran tahun 1997, apalagi latar belakang pendidikan Ima cuma jebolan kelas I SMA. Waktu itu, Ima sendiri sedang galau karena kehidupan pernikahannya baru saja kandas. Ima pun menerima tawaran ke AS itu, dan membatalkan niatnya pergi ke Hongkong sebagai tenaga kerja wanita (TKW).

Saat berangkat ke AS, usia Ima baru 17 tahun. Ia punya harapan besar, namun kenyataan terbukti jauh lebih pahit ketimbang mimpi indahnya. Majikannya memperlakukan Ima bak seorang budak. Ia diperlakukan kasar dan dipaksa bekerja lebih dari12 jam tiap hari, tanpa digaji, selama tiga tahun (1997-2000).

Di tengah penderitaannya yang seolah tanpa harapan di negeri asing, suatu hari Ima menulis surat minta tolong dengan bahasa Inggris seadanya kepada tetangganya. Sang tetangga yang baik hati menyelamatkan Ima, dengan membawanya ke kantor lembaga penghapusan perbudakan, Coalition to Abolish Slavery and Trafficking (CAST).

Di lembaga itulah, Ima mendapat perlindungan, juga pengetahuan dan berbagai keterampilan. Pikirannya pun menjadi terbuka tentang banyak hal, khususnya tentang praktik perdagangan manusia di banyak negara. Seperti dituturkannya pada Kompas (20 Desember 2016), pada 2005, Ima memutuskan menjadi aktivis yang melawan perdagangan manusia.

Ima bergabung dengan CAST dan menjabat koordinator korban yang selamat dari perdagangan manusia. Ada lebih dari 200 korban dari 24 negara yang ditanganinya. Sepuluh tahun kemudian, Ima menjadi anggota Dewan Penasihat Gedung Putih (Advisory Council of Human Trafficking United States of America). Di Dewan Penasihat itu, ia menangani dua dari lima bidang: anggaran dan kewaspadaan.

Pada jabatan itu, Ima memberikan saran-saran kepada departemen pemerintahan tentang upaya penanganan perdagangan manusia. Berkat posisinya, Ima sering bertemu dengan Presiden AS Barack Obama. Ia sering ikut advokasi bersama pemerintah.

Menurut Ima, meski sudah menjadi negara maju, AS ternyata juga tidak lepas dari kasus perdagangan manusia dan perbudakan. Korbannya umumnya adalah remaja yang tidak punya orangtua dan mereka yang telantar. Mereka umumnya dijual sebagai pekerja seks, pekerja restoran, hotel, hingga buruh tani.

Kiprah Ima sebagai aktivis anti perdagangan manusia semakin lama semakin diakui. Berkat pengakuan itulah, bersama sejumlah senator, Ima bisa berbicara di panggung utama Stadion Wells Fargo, Philadelphia, Pennsylvania, Juli 2016. Ima berorasi di depan puluhan ribu pendukung bakal calon presiden/wapres dari Partai Demokrat AS, Hillary Clinton-Tim Kaine. Acara itu disiarkan ke seluruh dunia.

Meski singkat, Ima sempat berpidato di ajang bergengsi itu karena diundang oleh Komite Nasional Partai Demokrat. Kebetulan perwakilan komite mengenal Ima dan pernah bekerja bersama Hillary. Sungguh tak terbayangkan, Ima yang besar di desa di Kabupaten Malang, Jawa Timur, bisa jadi pembicara di acara Partai Demokrat AS.

Aktivitas Ima untuk melawan perdagangan manusia pun akhirnya sampai juga ke Indonesia. Bersama Shandra Woworuntu dan Randall Roca, Ima mendirikan Yayasan Mentari, untuk membantu warga Indonesia yang menjadi korban perdagangan manusia.

Meski awalnya ditujukan untuk membantu warga Indonesia, banyak warga negara lain yang meminta advokasi ke Yayasan Mentari. Pada Desember 2016, yayasan itu menangani sekitar 100 korban perdagangan manusia dari 17 negara.

Saat ini Ima tetap dengan gigih berjuang untuk melawan mafia dan penjahat perdagangan manusia. Ima sudah berganti kewarganegaraan dari Indonesia menjadi AS, untuk mempermudah perjalanan lintas negara saat dirinya bertugas. Meski demikian, Ima mengaku tak pernah melupakan Indonesia, tanah air dan tempat kelahirannya. ***

Jakarta, Februari 2017
Ditulis untuk Aktual.com
Viewing all 472 articles
Browse latest View live