Oleh: Satrio Arismunandar
Sebagai negara benua yang dikelilingi lautan, pengadaan kapal selam untuk pertahanan termasuk soal krusial bagi Australia, negeri tetangga Indonesia. Di sisi lain, bagi Indonesia sendiri, sebagai tetangga besar di utara, program kapal selam Australia juga menjadi perhatian karena akan berpengaruh pada strategi pertahanan Indonesia. Beroperasinya kapal-kapal selam Australia di perairan Indonesia, khususnya pada saat situasi krisis di Timor Timur di zaman pemerintahan Presiden Soeharto, sudah dipahami oleh militer Indonesia.
Australia memiliki persepsi ancaman bahwa “musuh akan datang dari utara.” Maka, jika Indonesia tidak menjadi musuh yang mengancam Australia, sangat mungkin “musuh lain” yang dimaksud itu –misalnya, China-- akan mengancam Australia sesudah melewati wilayah perairan Indonesia. Kembali di sini terlihat arti penting kapal selam bagi Australia, dan juga bagi Indonesia.
Australia sudah sekian lama merencanakan pembaruan armada kapal selamnya yang sudah mulai tua dengan kapal selam generasi baru. Namun berbagai komplikasi, terkait kepentingan politik pemerintah di era Perdana Menteri Tony Abbott, membuat rencana akuisisi itu tertunda-tunda.
Enam kapal selam kelas-Collins milik Royal Australian Navy (RAN) dijadwalkan secara bertahap mulai berhenti bertugas pada 2025 dan seterusnya. Rencana untuk menggantinya telah dimulai pada 2007 dengan proyek akuisisi pertahanan SEA 1000, yang disebut juga Program Kapal Selam Masa Depan (Future Submarine Programme).
Mengingat beban keuangan yang mahal untuk terus mempertahankan beroperasinya kapal selam kelas-Collins, keputusan cepat untuk menggantinya sangat dibutuhkan. Kecuali ada pilihan lain, seperti sementara menyewa kapal selam yang sudah ada dari negara sekutu, misalnya dari Amerika Serikat.
Persyaratan yang Ketat
Pada 2009, Buku Putih Pertahanan Pemerintah Australia --yang berjudul Defending Australia in the Asia Pacific Century: Force 2030-- menyatakan, sekelas yang terdiri dari 12 kapal selam baru akan dibuat. Desain yang terpilih akan dibangun di Australia, persisnya di galangan ASC. ASC adalah galangan milik pemerintah di Osborne, Australia Selatan, yang sebelumnya telah membuat kapal-kapal selam kelas-Collins. Jika perusahaan lain yang bukan ASC dipilih untuk membuat kapal selam itu, mereka akan diberi akses ke fasilitas milik pemerintah di ASC.
Kerja konsep direncanakan mulai pada 2009, desain pemenang dinyatakan pada 2013, dan kerja desain dituntaskan pada 2016, yang memungkinkan konstruksi kapal selam pertama diselesaikan sebelum 2025. Namun, ternyata ada penundaan implementasi proyek. Rapat-rapat untuk merumuskan kapabilitas kapal selam yang diinginkan baru dimulai pada 2012, yang menyebabkan awal konstruksi akan tertunda melampaui 2017. Sampai akhir 2014, kapabilitas operasional tetap belum dirumuskan.
Persyaratan bagi kapal selam baru itu sendiri memang lumayan ketat. Hal ini karena lingkungan operasi Australia yang unik, termasuk variasi signifikan dalam hal iklim dan kondisi lautan. Penolakan publik terhadap penggunaan propulsi nuklir, sebelumnya telah mendorong dioperasikannya kapal selam kelas-Collins. Ini adalah kapal selam diesel-listrik terbesar di dunia, yang mampu menempuh jarak panjang dari pangkalannya di HMAS Stirling di Australia Barat ke kawasan operasinya.
Kapal-kapal selam bertenaga diesel-listrik Australia beroperasi di kondisi laut dan geografis yang sangat bervariasi, dari Lautan Selatan yang dingin sampai ke Laut Timor, Arafura, dan Coral yang beriklim tropis. Oleh karena itu, dibutuhkan kapal selam yang mampu menghadapi variasi suhu, salinitas (kadar garam), densitas, dan iklim. Kapal selam Australia diharapkan memberi efek gentar terhadap kemungkinan agresi militer ke Australia, dengan kemampuan berpatroli di perairan Australia dan negeri-negeri yang berdekatan.
Sebagai tambahan, kapal selam ini juga mengumpulkan data intelijen lewat penyadapan komunikasi elektronik dari negara asing, dan membantu pengerahan dan penarikan kembali operasi pasukan khusus. Kapal-kapal selam RAN beroperasi dari lokasi terpencil di HMAS Stirling, Australia Barat, padahal kepentingan-kepentingan strategis Australia juga berlokasi jauh, sampai ke Teluk Persia dan Pasifik Utara.
Mampu Menempuh Jarak Jauh
Maka kapal selam Australia harus sanggup menempuh jarak jauh untuk mencapai beberapa kawasan patroli potensial. Persyaratan untuk jarak dan ketahanan (endurance) ini mengakibatkan desain kapal selam kelas-Collins pada 1980-an memadukan tangki bahan bakar besar, mesin besar, dan baterai yang memadai untuk menempuh jarak jauh tersebut.
Pengembangan teknologi terkini telah memungkinkan kapal selam diesel-listrik yang berukuran lebih kecil, seperti kapal selam Tipe 214 Jerman dan kelas-Walrus Belanda, untuk mencapai jarak dan ketahanan yang setara dengan kelas-Collins. Juga telah diketahui bahwa jarak transit yang harus ditempuh kapal selam Australia sebetulnya dapat dikurangi, dengan pengoperasian kapal selam dari HMAS Coonawarra di Darwin, ketimbang dari lokasi yang jauh lebih terpencil di HMAS Stirling di Australia Barat.
Kelas-Collins adalah kapal selam diesel-listrik pertama yang secara spesifik didesain untuk kondisi Australia, dengan jarak transit yang panjang dan keadaan laut yang beragam. Dengan demikian, desain kelas-Collins tidak memiliki rancangan pengembangan bertahap untuk nantinya menggantikan kapal-kapal selam itu.
Kapal selam itu diperbesar ukurannya dan merupakan versi modifikasi berat terhadap kapal selam kelas Västergötland buatan galangan Kockum, Swedia. Dibangun selama 1990-an dan 2000-an, kapal selam kelas-Collins memiliki usia operasional yang diprediksi mencapai 30 tahun. Sedangkan kapal pertama HMAS Collins dijadwalkan mulai dibebas-tugaskan sekitar 2025.
Kriteria penting lain dalam memilih kapal selam untuk kebutuhan Australia masa depan adalah jenis mesin penggerak (sistem propulsi) kapal selam itu. Keputusan tentang sistem propulsi kapal selam masa depan sangat erat terkait dengan penentuan jarak tempuh operasional, ketahanan, dan sifat ketidakmudahan dilacak (stealthiness). Ada dua opsi dasar untuk propulsi kapal selam: propulsi nuklir dan propulsi diesel-listrik yang konvensional.
Menolak Sistem Propulsi Nuklir
Opsi propulsi nuklir secara efektif memberi jarak tempuh dan ketahanan yang tak terbatas pada kapal selam. Ia hanya dibatasi oleh perawatan dan persyaratan awak manusia, yang butuh perbekalan ulang dan istirahat. Propulsi nuklir menghapus kebutuhan kapal selam untuk muncul ke permukaan guna mengisi ulang baterai, sebuah proses yang berisiko dan bisa dilacak musuh.
Namun pemerintah Australia telah berulang kali menolak opsi propulsi nuklir mengingat kurangnya industri tenaga nuklir di Australia. Jika dipaksakan, Australia akan menjadi satu-satunya negara non-nuklir yang mengoperasikan kapal selam nuklir. Pertimbangan lain berhubungan dengan isu kedaulatan operasional. Jika Australia akan mengoperasikan kapal selam bertenaga nuklir Amerika, seperti kelas-Virginia, ia akan tergantung pada dukungan teknis Amerika, ditambah ada penentangan masyarakat terhadap teknologi nuklir.
Alternatif kedua adalah mengoperasikan kapal selam diesel-listrik yang konvensional, dengan bahan bakar dan daya baterai yang memadai untuk menempuh jarak operasional yang jauh, yang dipersyaratkan Australia. Serta, memberikan jarak tempuh, ketahanan, dan sifat ketidakmudahan dilacak (karena beroperasi di bawah air) yang maksimum, sebelum harus naik ke permukaan untuk mengambil udara dan mengisi ulang baterai.
Inovasi lebih jauh pada propulsi diesel-listrik yang mungkin dipertimbangkan untuk pengganti kelas-Collins adalah teknologi air independent propulsion (AIP). AIP ini tidak dioperasikan pada kelas-Collins yang ada sekarang, namun telah dioperasikan di sejumlah desain kapal selam yang lebih baru, seperti Tipe 214 Jerman, kelas-Soryu Jepang, dan kelas-Scorpene Perancis.
AIP menjalankan peran sebuah mesin penunjang yang memberi peningkatan ketidakmudahan dilacak pada kapal selam, karena memungkinkan kapal selam ini menyelam lebih lama. Kapal selam Tipe 214 Jerman telah menggunakan sel-sel bahan bakar (fuel cells) membran elektrolit polimer yang canggih. Sel-sel bahan bakar ini membantu memberikan jarak tempuh dan ketahanan yang layak ditandingkan dengan kelas-Collins.
Baterai adalah komponen penting kapal selam diesel-listrik, yang memungkinkan kapal selam beroperasi di bawah air untuk periode waktu yang lama, sebelum harus muncul kembali ke permukaan untuk mengisi ulang baterai. Pengembangan teknologi baterai pada tahun-tahun terakhir ini telah memungkinkan kapal selam diesel-listrik yang lebih kecil, untuk beroperasi dengan jarak tempuh dan ketahanan yang sangat dikembangkan.
Desain kapal selam masa depan mungkin memanfaatkan pengembangan teknologi baterai Lithium-ion. Pengganti kelas-Collins mungkin mengoperasikan teknologi baterai yang lebih unggul dari yang kini sudah digunakan di kelas-Collins.
Proyek yang Termahal
Buku Putih Pertahanan 2014 mengidentifikasi kapabilitas rudal jelajah untuk serangan darat, sebagai tambahan penting terhadap torpedo, ranjau, dan rudal-rudal anti-kapal yang sudah ada. Pada Februari 2015, Pemerintah Australia mengidentifikasi preferensinya bagi kapal selam masa depan, agar memiliki sistem persenjataan dan torpedo berbobot berat Amerika.
Ketika pertama diumumkan, proyek penggantian Collins dipandang sebagai proyek termahal yang pernah diadopsi oleh Angkatan Bersenjata Australia. Pada Desember 2010, sebuah perkiraan baru terhadap Rencana Kapabilitas Pertahanan menyebut biaya proyek mencapai A$ 10 miliar. Sedangkan Institut Kebijakan Strategis Australia memperkirakan, kapal-kapal selam baru itu akan memakan biaya sampai A$ 36 miliar untuk desain dan pembuatan, di mana konstruksi setiap kapal selam bernilai antara A$ 1,4 sampai A$ 3,04 miliar.
Prediksi pemerintah pada 2014 menyebut, biaya total mencapai A$ 80 miliar untuk 12 kapal selam turunan Collins yang dibangun oleh ASC, walaupun ASC sendiri hanya mengklaim bahwa biayanya adalah A$ 18-24 miliar. Memang rencana awalnya adalah membuat kapal selam baru di ASC, bahkan sekalipun ASC tidak menjadi pemenang tender.
Sejumlah yang tak disebutkan dari kapal selam kelas-Soryu, yang dibuat di Jepang oleh Mitsubishi Heavy Industries dan Kawasaki Shipbuilding Corporation, diperkirakan bernilai A$ 25 miliar. Tawaran dari pabrik Eropa pada 2014 dinilai oleh kalangan galangan kapal sebagai bernilai A$ 20 miliar atau setidaknya bersaing dengan biaya yang ditawarkan Jepang.
Buku Putih Pertahanan menyatakan, alasan peningkatan jumlah kapal selam dari enam kapal selam kelas-Collins yang akan dipensiunkan menjadi 12 kapal selam baru, antara lain karena meningkatnya kuantitas dan kecanggihan kekuatan laut Asia-Pasifik, khususnya kekuatan kapal selam. Selain itu, ada kebutuhan untuk melanjutkan operasi-operasi kapal selam di daerah konflik manapun, dan peningkatan daya gentar, yang akan diwujudkan jika ada penambahan kekuatan kapal selam.
Memilih Desain Perancis
Pemerintah Australia pada April 2016 akhirnya memutuskan untuk memilih desain kapal selam buatan pabrikan Perancis, DCNS, untuk program pengadaan 12 kapal selam masa depannya, dengan nilai total A$ 50 miliar. Keputusan ini ditegaskan sesudah pada Februari 2015 pemerintah mengumumkan “proses evaluasi kompetitif” antara desain kapal selam Jepang, Perancis, dan Jerman, tiga pesaing utama. Awalnya, banyak yang curiga bahwa “proses evaluasi kompetitif” (yang tidak sama dengan tender) adalah akal-akalan pemerintah Abbott untuk menggolkan kesepakatan membeli kapal selam Jepang kelas Soryu.
Abbott waktu itu ingin membeli kapal selam kelas-Soryu, sebagian karena ingin memberi sinyal pada China bahwa ia ingin meningkatkan status militer Jepang. Namun, satu-satunya kriteria seharusnya adalah kapal selam apa yang terbaik bagi Australia. Kementerian Pertahanan mempertimbangkan, jarak tempuh 12.000 km bagi kapal selam Jepang kelas Soryu yang berbobot 4.200 ton bukanlah suatu keunggulan. Sebuah desain baru mungkin bisa meningkatkan daya jangkau Soryu ini.
Sebagai perbandingan, Singapura kini tengah membeli kapal selam Tipe 214 Jerman yang ditingkatkan kemampuannya, di mana daya jangkau resminya adalah 19.000 km. Tidak seperti Soryu, Tipe 214 ini dilengkapi dengan rudal-rudal untuk menyerang helikopter, pesawat, dan kapal anti-kapal selam dari bawah permukaan air. Meskipun sering berhasil “menenggelamkan” kapal perang AS dalam berbagai latihan, Kemhan Australia menganggap, Tipe 214 yang berbobot 2.000 ton terlalu kecil.
Sementara itu Perancis menawarkan versi konvensional dari kapal selam nuklir Barracuda, yang belum operasional. Tawaran Jerman, berupa kapal selam Tipe 216 berbobot 4.000 ton dengan pengunci udara untuk meluncurkan drone dari bawah laut atau 22 prajurit pasukan khusus, juga belum operasional. Kapal selam ini hanya membutuhkan 34 awak, jauh lebih sedikit ketimbang Soryu yang membutuhkan 56 awak. Tipe 216 berbeda dari Tipe 214, dan adalah versi yang dirancang Jerman untuk memenuhi persyaratan Australia.
Walau kapal selam Tipe 214 Jerman memiliki jarak tempuh dan ketahanan yang setara dengan kelas-Collins, serta jarak tempuh dan ketahanan yang lebih unggul dari kelas Soryu, selama 2014 terdapat spekulasi bahwa desain Jepang telah dipilih sebelumnya oleh pemerintah Abbott sebagai pengganti kelas-Collins. Hal ini mendorong munculnya kritik publik bahwa kapal selam Jepang tidak memiliki daya tempuh atau ketahanan yang dipersyaratkan Australia.
Adanya kesepakatan pertukaran teknologi senjata pada September 2012 dan perjanjian Juli 2014 tentang berbagi teknologi pertahanan dipandang sebagai langkah-langkah pendahuluan ke arah kolaborasi Jepang-Australia tentang desain kapal selam. Atau, juga bisa dipandang sebagai pengintegrasian teknologi AIP rancangan Kockum di kapal selam Soryu, serta mesin-mesin dan riset Stirling, ke dalam kapabilitas hidrodinamik kapal selam Jepang, yang akan bermanfaat untuk memenuhi desain SEA 1000 yang potensial.
Meski demikian, patut dicatat bahwa kerjasama dalam proyek pertahanan yang besar akan berisiko tinggi, mengingat kurangnya pengalaman ekspor senjata Jepang sebelumnya. Selain itu, setiap kesepakatan Jepang-Australia dapat berdampak negatif terhadap hubungan kedua negara dengan China. Oleh karena itu, pilihan akhir Australia untuk meninggalkan desain Jepang dan memilih menggunakan desain kapal selam buatan Perancis, mengisyaratkan pemerintah sudah lebih mengedepankan pertimbangan obyektif-teknis, ketimbang politis-keamanan. ***
Jakarta, November 2016
Ditulis untuk Majalah DEFENDER
Sebagai negara benua yang dikelilingi lautan, pengadaan kapal selam untuk pertahanan termasuk soal krusial bagi Australia, negeri tetangga Indonesia. Di sisi lain, bagi Indonesia sendiri, sebagai tetangga besar di utara, program kapal selam Australia juga menjadi perhatian karena akan berpengaruh pada strategi pertahanan Indonesia. Beroperasinya kapal-kapal selam Australia di perairan Indonesia, khususnya pada saat situasi krisis di Timor Timur di zaman pemerintahan Presiden Soeharto, sudah dipahami oleh militer Indonesia.
Australia memiliki persepsi ancaman bahwa “musuh akan datang dari utara.” Maka, jika Indonesia tidak menjadi musuh yang mengancam Australia, sangat mungkin “musuh lain” yang dimaksud itu –misalnya, China-- akan mengancam Australia sesudah melewati wilayah perairan Indonesia. Kembali di sini terlihat arti penting kapal selam bagi Australia, dan juga bagi Indonesia.
Australia sudah sekian lama merencanakan pembaruan armada kapal selamnya yang sudah mulai tua dengan kapal selam generasi baru. Namun berbagai komplikasi, terkait kepentingan politik pemerintah di era Perdana Menteri Tony Abbott, membuat rencana akuisisi itu tertunda-tunda.
Enam kapal selam kelas-Collins milik Royal Australian Navy (RAN) dijadwalkan secara bertahap mulai berhenti bertugas pada 2025 dan seterusnya. Rencana untuk menggantinya telah dimulai pada 2007 dengan proyek akuisisi pertahanan SEA 1000, yang disebut juga Program Kapal Selam Masa Depan (Future Submarine Programme).
Mengingat beban keuangan yang mahal untuk terus mempertahankan beroperasinya kapal selam kelas-Collins, keputusan cepat untuk menggantinya sangat dibutuhkan. Kecuali ada pilihan lain, seperti sementara menyewa kapal selam yang sudah ada dari negara sekutu, misalnya dari Amerika Serikat.
Persyaratan yang Ketat
Pada 2009, Buku Putih Pertahanan Pemerintah Australia --yang berjudul Defending Australia in the Asia Pacific Century: Force 2030-- menyatakan, sekelas yang terdiri dari 12 kapal selam baru akan dibuat. Desain yang terpilih akan dibangun di Australia, persisnya di galangan ASC. ASC adalah galangan milik pemerintah di Osborne, Australia Selatan, yang sebelumnya telah membuat kapal-kapal selam kelas-Collins. Jika perusahaan lain yang bukan ASC dipilih untuk membuat kapal selam itu, mereka akan diberi akses ke fasilitas milik pemerintah di ASC.
Kerja konsep direncanakan mulai pada 2009, desain pemenang dinyatakan pada 2013, dan kerja desain dituntaskan pada 2016, yang memungkinkan konstruksi kapal selam pertama diselesaikan sebelum 2025. Namun, ternyata ada penundaan implementasi proyek. Rapat-rapat untuk merumuskan kapabilitas kapal selam yang diinginkan baru dimulai pada 2012, yang menyebabkan awal konstruksi akan tertunda melampaui 2017. Sampai akhir 2014, kapabilitas operasional tetap belum dirumuskan.
Persyaratan bagi kapal selam baru itu sendiri memang lumayan ketat. Hal ini karena lingkungan operasi Australia yang unik, termasuk variasi signifikan dalam hal iklim dan kondisi lautan. Penolakan publik terhadap penggunaan propulsi nuklir, sebelumnya telah mendorong dioperasikannya kapal selam kelas-Collins. Ini adalah kapal selam diesel-listrik terbesar di dunia, yang mampu menempuh jarak panjang dari pangkalannya di HMAS Stirling di Australia Barat ke kawasan operasinya.
Kapal-kapal selam bertenaga diesel-listrik Australia beroperasi di kondisi laut dan geografis yang sangat bervariasi, dari Lautan Selatan yang dingin sampai ke Laut Timor, Arafura, dan Coral yang beriklim tropis. Oleh karena itu, dibutuhkan kapal selam yang mampu menghadapi variasi suhu, salinitas (kadar garam), densitas, dan iklim. Kapal selam Australia diharapkan memberi efek gentar terhadap kemungkinan agresi militer ke Australia, dengan kemampuan berpatroli di perairan Australia dan negeri-negeri yang berdekatan.
Sebagai tambahan, kapal selam ini juga mengumpulkan data intelijen lewat penyadapan komunikasi elektronik dari negara asing, dan membantu pengerahan dan penarikan kembali operasi pasukan khusus. Kapal-kapal selam RAN beroperasi dari lokasi terpencil di HMAS Stirling, Australia Barat, padahal kepentingan-kepentingan strategis Australia juga berlokasi jauh, sampai ke Teluk Persia dan Pasifik Utara.
Mampu Menempuh Jarak Jauh
Maka kapal selam Australia harus sanggup menempuh jarak jauh untuk mencapai beberapa kawasan patroli potensial. Persyaratan untuk jarak dan ketahanan (endurance) ini mengakibatkan desain kapal selam kelas-Collins pada 1980-an memadukan tangki bahan bakar besar, mesin besar, dan baterai yang memadai untuk menempuh jarak jauh tersebut.
Pengembangan teknologi terkini telah memungkinkan kapal selam diesel-listrik yang berukuran lebih kecil, seperti kapal selam Tipe 214 Jerman dan kelas-Walrus Belanda, untuk mencapai jarak dan ketahanan yang setara dengan kelas-Collins. Juga telah diketahui bahwa jarak transit yang harus ditempuh kapal selam Australia sebetulnya dapat dikurangi, dengan pengoperasian kapal selam dari HMAS Coonawarra di Darwin, ketimbang dari lokasi yang jauh lebih terpencil di HMAS Stirling di Australia Barat.
Kelas-Collins adalah kapal selam diesel-listrik pertama yang secara spesifik didesain untuk kondisi Australia, dengan jarak transit yang panjang dan keadaan laut yang beragam. Dengan demikian, desain kelas-Collins tidak memiliki rancangan pengembangan bertahap untuk nantinya menggantikan kapal-kapal selam itu.
Kapal selam itu diperbesar ukurannya dan merupakan versi modifikasi berat terhadap kapal selam kelas Västergötland buatan galangan Kockum, Swedia. Dibangun selama 1990-an dan 2000-an, kapal selam kelas-Collins memiliki usia operasional yang diprediksi mencapai 30 tahun. Sedangkan kapal pertama HMAS Collins dijadwalkan mulai dibebas-tugaskan sekitar 2025.
Kriteria penting lain dalam memilih kapal selam untuk kebutuhan Australia masa depan adalah jenis mesin penggerak (sistem propulsi) kapal selam itu. Keputusan tentang sistem propulsi kapal selam masa depan sangat erat terkait dengan penentuan jarak tempuh operasional, ketahanan, dan sifat ketidakmudahan dilacak (stealthiness). Ada dua opsi dasar untuk propulsi kapal selam: propulsi nuklir dan propulsi diesel-listrik yang konvensional.
Menolak Sistem Propulsi Nuklir
Opsi propulsi nuklir secara efektif memberi jarak tempuh dan ketahanan yang tak terbatas pada kapal selam. Ia hanya dibatasi oleh perawatan dan persyaratan awak manusia, yang butuh perbekalan ulang dan istirahat. Propulsi nuklir menghapus kebutuhan kapal selam untuk muncul ke permukaan guna mengisi ulang baterai, sebuah proses yang berisiko dan bisa dilacak musuh.
Namun pemerintah Australia telah berulang kali menolak opsi propulsi nuklir mengingat kurangnya industri tenaga nuklir di Australia. Jika dipaksakan, Australia akan menjadi satu-satunya negara non-nuklir yang mengoperasikan kapal selam nuklir. Pertimbangan lain berhubungan dengan isu kedaulatan operasional. Jika Australia akan mengoperasikan kapal selam bertenaga nuklir Amerika, seperti kelas-Virginia, ia akan tergantung pada dukungan teknis Amerika, ditambah ada penentangan masyarakat terhadap teknologi nuklir.
Alternatif kedua adalah mengoperasikan kapal selam diesel-listrik yang konvensional, dengan bahan bakar dan daya baterai yang memadai untuk menempuh jarak operasional yang jauh, yang dipersyaratkan Australia. Serta, memberikan jarak tempuh, ketahanan, dan sifat ketidakmudahan dilacak (karena beroperasi di bawah air) yang maksimum, sebelum harus naik ke permukaan untuk mengambil udara dan mengisi ulang baterai.
Inovasi lebih jauh pada propulsi diesel-listrik yang mungkin dipertimbangkan untuk pengganti kelas-Collins adalah teknologi air independent propulsion (AIP). AIP ini tidak dioperasikan pada kelas-Collins yang ada sekarang, namun telah dioperasikan di sejumlah desain kapal selam yang lebih baru, seperti Tipe 214 Jerman, kelas-Soryu Jepang, dan kelas-Scorpene Perancis.
AIP menjalankan peran sebuah mesin penunjang yang memberi peningkatan ketidakmudahan dilacak pada kapal selam, karena memungkinkan kapal selam ini menyelam lebih lama. Kapal selam Tipe 214 Jerman telah menggunakan sel-sel bahan bakar (fuel cells) membran elektrolit polimer yang canggih. Sel-sel bahan bakar ini membantu memberikan jarak tempuh dan ketahanan yang layak ditandingkan dengan kelas-Collins.
Baterai adalah komponen penting kapal selam diesel-listrik, yang memungkinkan kapal selam beroperasi di bawah air untuk periode waktu yang lama, sebelum harus muncul kembali ke permukaan untuk mengisi ulang baterai. Pengembangan teknologi baterai pada tahun-tahun terakhir ini telah memungkinkan kapal selam diesel-listrik yang lebih kecil, untuk beroperasi dengan jarak tempuh dan ketahanan yang sangat dikembangkan.
Desain kapal selam masa depan mungkin memanfaatkan pengembangan teknologi baterai Lithium-ion. Pengganti kelas-Collins mungkin mengoperasikan teknologi baterai yang lebih unggul dari yang kini sudah digunakan di kelas-Collins.
Proyek yang Termahal
Buku Putih Pertahanan 2014 mengidentifikasi kapabilitas rudal jelajah untuk serangan darat, sebagai tambahan penting terhadap torpedo, ranjau, dan rudal-rudal anti-kapal yang sudah ada. Pada Februari 2015, Pemerintah Australia mengidentifikasi preferensinya bagi kapal selam masa depan, agar memiliki sistem persenjataan dan torpedo berbobot berat Amerika.
Ketika pertama diumumkan, proyek penggantian Collins dipandang sebagai proyek termahal yang pernah diadopsi oleh Angkatan Bersenjata Australia. Pada Desember 2010, sebuah perkiraan baru terhadap Rencana Kapabilitas Pertahanan menyebut biaya proyek mencapai A$ 10 miliar. Sedangkan Institut Kebijakan Strategis Australia memperkirakan, kapal-kapal selam baru itu akan memakan biaya sampai A$ 36 miliar untuk desain dan pembuatan, di mana konstruksi setiap kapal selam bernilai antara A$ 1,4 sampai A$ 3,04 miliar.
Prediksi pemerintah pada 2014 menyebut, biaya total mencapai A$ 80 miliar untuk 12 kapal selam turunan Collins yang dibangun oleh ASC, walaupun ASC sendiri hanya mengklaim bahwa biayanya adalah A$ 18-24 miliar. Memang rencana awalnya adalah membuat kapal selam baru di ASC, bahkan sekalipun ASC tidak menjadi pemenang tender.
Sejumlah yang tak disebutkan dari kapal selam kelas-Soryu, yang dibuat di Jepang oleh Mitsubishi Heavy Industries dan Kawasaki Shipbuilding Corporation, diperkirakan bernilai A$ 25 miliar. Tawaran dari pabrik Eropa pada 2014 dinilai oleh kalangan galangan kapal sebagai bernilai A$ 20 miliar atau setidaknya bersaing dengan biaya yang ditawarkan Jepang.
Buku Putih Pertahanan menyatakan, alasan peningkatan jumlah kapal selam dari enam kapal selam kelas-Collins yang akan dipensiunkan menjadi 12 kapal selam baru, antara lain karena meningkatnya kuantitas dan kecanggihan kekuatan laut Asia-Pasifik, khususnya kekuatan kapal selam. Selain itu, ada kebutuhan untuk melanjutkan operasi-operasi kapal selam di daerah konflik manapun, dan peningkatan daya gentar, yang akan diwujudkan jika ada penambahan kekuatan kapal selam.
Memilih Desain Perancis
Pemerintah Australia pada April 2016 akhirnya memutuskan untuk memilih desain kapal selam buatan pabrikan Perancis, DCNS, untuk program pengadaan 12 kapal selam masa depannya, dengan nilai total A$ 50 miliar. Keputusan ini ditegaskan sesudah pada Februari 2015 pemerintah mengumumkan “proses evaluasi kompetitif” antara desain kapal selam Jepang, Perancis, dan Jerman, tiga pesaing utama. Awalnya, banyak yang curiga bahwa “proses evaluasi kompetitif” (yang tidak sama dengan tender) adalah akal-akalan pemerintah Abbott untuk menggolkan kesepakatan membeli kapal selam Jepang kelas Soryu.
Abbott waktu itu ingin membeli kapal selam kelas-Soryu, sebagian karena ingin memberi sinyal pada China bahwa ia ingin meningkatkan status militer Jepang. Namun, satu-satunya kriteria seharusnya adalah kapal selam apa yang terbaik bagi Australia. Kementerian Pertahanan mempertimbangkan, jarak tempuh 12.000 km bagi kapal selam Jepang kelas Soryu yang berbobot 4.200 ton bukanlah suatu keunggulan. Sebuah desain baru mungkin bisa meningkatkan daya jangkau Soryu ini.
Sebagai perbandingan, Singapura kini tengah membeli kapal selam Tipe 214 Jerman yang ditingkatkan kemampuannya, di mana daya jangkau resminya adalah 19.000 km. Tidak seperti Soryu, Tipe 214 ini dilengkapi dengan rudal-rudal untuk menyerang helikopter, pesawat, dan kapal anti-kapal selam dari bawah permukaan air. Meskipun sering berhasil “menenggelamkan” kapal perang AS dalam berbagai latihan, Kemhan Australia menganggap, Tipe 214 yang berbobot 2.000 ton terlalu kecil.
Sementara itu Perancis menawarkan versi konvensional dari kapal selam nuklir Barracuda, yang belum operasional. Tawaran Jerman, berupa kapal selam Tipe 216 berbobot 4.000 ton dengan pengunci udara untuk meluncurkan drone dari bawah laut atau 22 prajurit pasukan khusus, juga belum operasional. Kapal selam ini hanya membutuhkan 34 awak, jauh lebih sedikit ketimbang Soryu yang membutuhkan 56 awak. Tipe 216 berbeda dari Tipe 214, dan adalah versi yang dirancang Jerman untuk memenuhi persyaratan Australia.
Walau kapal selam Tipe 214 Jerman memiliki jarak tempuh dan ketahanan yang setara dengan kelas-Collins, serta jarak tempuh dan ketahanan yang lebih unggul dari kelas Soryu, selama 2014 terdapat spekulasi bahwa desain Jepang telah dipilih sebelumnya oleh pemerintah Abbott sebagai pengganti kelas-Collins. Hal ini mendorong munculnya kritik publik bahwa kapal selam Jepang tidak memiliki daya tempuh atau ketahanan yang dipersyaratkan Australia.
Adanya kesepakatan pertukaran teknologi senjata pada September 2012 dan perjanjian Juli 2014 tentang berbagi teknologi pertahanan dipandang sebagai langkah-langkah pendahuluan ke arah kolaborasi Jepang-Australia tentang desain kapal selam. Atau, juga bisa dipandang sebagai pengintegrasian teknologi AIP rancangan Kockum di kapal selam Soryu, serta mesin-mesin dan riset Stirling, ke dalam kapabilitas hidrodinamik kapal selam Jepang, yang akan bermanfaat untuk memenuhi desain SEA 1000 yang potensial.
Meski demikian, patut dicatat bahwa kerjasama dalam proyek pertahanan yang besar akan berisiko tinggi, mengingat kurangnya pengalaman ekspor senjata Jepang sebelumnya. Selain itu, setiap kesepakatan Jepang-Australia dapat berdampak negatif terhadap hubungan kedua negara dengan China. Oleh karena itu, pilihan akhir Australia untuk meninggalkan desain Jepang dan memilih menggunakan desain kapal selam buatan Perancis, mengisyaratkan pemerintah sudah lebih mengedepankan pertimbangan obyektif-teknis, ketimbang politis-keamanan. ***
Jakarta, November 2016
Ditulis untuk Majalah DEFENDER